.

Glitter Text
Make your own Glitter Graphics

selamat datang.........

semoga Allah selalu memudahakn jalan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh

mungkin ini adalah saya

Foto saya
asalamu'alaikum wr.wb, dalam naungan Ridho Illahi semoga hidup penuh kedamaian walau didahului oleh permusuhan.. salam ukhuwah islamiyah

Aku adalah seorang mahasiswa di sebuah universitas yang cukup ternama di pulau Jawa.  Kini usiaku menginjak 20 tahun. Aku anak Tasikmalaya yang merantau ke pualu Jawa bagian timur. Aku adalah salah satunya  mahasiswa yang terbalut cinta. Aku menaruh hati pada seseorang yang mungkin cukup terkenal di kampusku. Begitulah ku memanggil tempat untuk ku menuntut dan menggali ilmu saat ini. Dia adalah Mahfudzin. Nama yang cukup mudah untuk diingat dan dikenal  orang lain. Tentunya juga aku. Dia memang tak tampan dibanding teman-teman yang lain. Tapi dia mampu mencuri hatiku yang saat itu  bisa dibilang gundah gulana. Perlu ku mengingat lagi, bukan baru saja aku menaruh hati padanya. Namun sejak dari kelas 1 Madrasah di pesantren aku telah memiliki rasa untuknya. Bukan dari bertemu, namun dari mimpi saat aku hendak pergi ke pesantren. Kira-kira kurang lebih 7 tahun yang  lalu.
            Pagi yang berselimutkan embun saat itu ku sempatkan diri tuk menengok ke meja dimana ia biasanya tempati itu. Aku berkata dalam hati, “Aina huwa, ?kok tidak seperti biasanya dia belum terlihat?”, begitulah ucapku dalam hati. Sejenak ku berfikir, dalam lamunanku, ku dibangunkan Jihan temanku. Teman yang selalu ada untukku saat suka dan dukaku. Namun ku belum bisa membalas banyak semua kebaikannya. Huuh….biar Allah saja nanti yang membalas semua kebaikannya, dengan surga haqiqi-Nya. “Hayoo…mikirin Mahpud ya?”. Ya, memang begitulah nama akrab Mahfudzin biasanya di panggil oleh teman-teman sekampus. Memang, apa-apa yang sedang kurasakan kuceritakan pada sahabat baikku itu. Ku akui aku menaruh hati pada sesosok Mahpud. Tak ubahnya teman-teman yang lain yang juga memiliki perasaan yang sama walau hanya sekedar nge-fans.
            Ketika ku berada dalam kepenatan di ruangan, aku memutuskan untuk sekedar refresh sejenak otakku diluar ruangan. Aku langkahkan kakiku untuk  pergi ke kantin sekolah yang letaknya tak jauh dari ruanganku, yang memiliki penjaga sejumlah 6 orang. Tak kusangka ku dapati ia, Mahpud yang kucari-cari berada  di ruang UKS yang ukuranya kurang lebih 4x4 meter itu terbaring sakit tak berdaya. Kulirik wajahnya pucat pasi. Dia berselimut angin. Ku ingin mendekatinya. Namun….itu bukan yang diajarkan padaku. Aku hanya boleh mencintainya, bukan menyentuhnya kecuali, ia adalah suamiku. Ku kembali saja di ruanganku dengan perasaan bingung penuh pertanyaan yang bertubi-tubi.
            Lonceng berdering. Tanda seluruh materi yang diajarkan para dosen kepada para mahasiswa telah usai. Aku dan temanku Jihan bergegas keluar dari ruangan untuk menengoknya lagi. Namun tak kudapati dia di ruangan itu. “Ya ukhti, kok gak ada? Yakin, tadi ana melihatnya disini”, tanyaku pada Jihan. Jihan sendiri menggeleng kepala tanda tidak tahu-menahu soal ketidak adaan Mahpud. Ku coba untuk tenangkan hati dan fikiranku bahwa dia akan baik-baik saja. Ku hilangkan semua rasa gundahku, sesaat aku berdiri di depan daun pintu UKS itu.
            Tiba-tiba salah satu temannya lewat.  Walau awalnya ku tak pernah berani bercakap-cakap dengan seorang pria, namun kali ini ku beranikan diri untuk bertanya akan keberadaan Mahpud. “Assalamualaikum Jery, ana ingin bertanya, kira-kira antum tahu tidak keberadaan teman antum yang sedari tadi pagi terbaring di UKS ini?”, tanyaku perlahan, karena takut salah dan kasar ataupun menyinggung hatinya dalam pengucapanku. Ya, memang inilah aku. Zahra yang  yang mungkin bisa dibilang kuper atau apalah yang sejenisnya.
“ Wa’alaikumsalam…o…. Mahpud to?! La yo, aku dari tadi juga nyari-nyari deweke, tapi yo gak ketemu-ketemu, aku yo bingung”, ucap Jery dengan logat yang penuh Jawanya itu. Jery adalah keturunan orang Jawa dan Sunda. Maka tak salah lagi jika cara dia berbicara pun logat itu masih tertanam tegar di lisannya. “Lo…kok you malah gak tahu sih… bukannya you best friendnya?”, tegur Jihan dengan cara dia berbicara agak kebarat-baratan itu.  Karena Jihan pernah ingin berkunjung ke Negara Amerika. Namun sampai sekarang belum kesampaian juga. Hahahahahah ,maklum,,.
            Ketika semua terdiam, salah satu teman yang memiliki julukan ”Bintang Kampus” universitas berteriak, ”Ada yang mau bunuh diri!”. Dengan sangat respon, aku, Jihan dan Jery lari  mendekati sumber suara. Banyak mahasiswa yang sudah berjubelan di halaman belakang ruang para dosen yang biasanya digunakan untuk latihan basket. Yang letaknya dari ruang UKS kurang lebih 100 meter. Di sebelah halaman terdapat sebuah tiang tower yang cukup tinggi, yang ujungnya berwarna merah keputih-putihan. Semua mata memandang ke arah puncak tower. Dengan penuh keheranan aku, Jihan dan Jery memfokuskan pandangan ke puncak tower. Aku yang memang dari kecil memakai kacamata, ya…cukup jelas untuk bisa melihat kearah yang agak jauh. Ternyata….ternyata Mahpudlah yang berada di atas tower itu. Mahpud alias Mahfudzin yang ku nantikan kehadirannya di hatiku. Memang tak salah lagi bahwa itu adalah Mahpud. Aku kembali di bayang-bayangi  pertanyaan yang membuatku sedih dan bingung kembali. “Ya Allah.. apa yang membuat dia melakukan hal sekeji ini pada dirinya sendiri? Mengapa ia menyakiti dirinya sendiri?”.
            Aku langsung mengambil microphone di ruang dosen. Lalu ku lantunkan sebuah syair puisi untuknya, berharap agar dia turun dari tower mengerikan itu di dalam kerumunan banyak mahasiswa. Walaupun dengan rasa gemetar dan tak tenang serta rasa malu pada teman- teman, aku mencoba optimis bahwa aku bisa meyakinkanya bahwa apa yang dilakukanya itu tidaklah benar. Ku ambil diary kecilku yang selalu menemaniku yang ku letakkan di dalam tas. Lalu ku bacakan untuknya puisi yang memang dulu inigin ku sampaikan padanya, saat 12 hari setelah aku masuk ke pesantren.
Jangan menghilangkan aku dari senyum lembutku
Karena aku sudah berdebat dengan cuaca untuk hidup dan mati
Surga yang bergetar ketika aku melihat wajah yang
Dan membuat aku  optimis bahwa akan datang hari
Penuh tawa dan kemudian penderitaanku akan menghilang
Jadi jangan ambil dariku senyum lembut
Aku berjanji padamu bahwa aku tak akan mengganggumu
Tapi membuatku memilih untuk hidup daripada mati
Dan biarkan aku berharap senyum khusus
Untuk mengangkatku saat aku merasa tertekan
Saat aku sakit jiwa adalah melarikan diri
Kesedihan dan kesepian itu jadi saksi
Tuhan…aku berdo’a, dan
Kebahagiaan pasti datang mengunjungiku suatu hari
Dan permohonan dalam nama Tuhan
Tidak mengambil senyum lembut dariku
Suram….tempat kumelihat
Penuh kegelapan…
            Kemudian sesaat, aku tak sadarkan diri.  Aku tak tahu apa yang menimpa diriku. Ketika ku membuka 2 katup mataku yang kulihat adalah seorang pria yang terbaring di sampingku. Lalu ku berkata, ”Astaghfirullahal ‘adzim, ma ta’mal huna?( apa yang kamu lakukan disini?)”, tanyaku pada pria yang memiliki nama lengkap Mahfudzin Khoirul Alim yang sama-sama aku dengannya mengambil jurusan bidang materi Keagamaan khususnya Bahasa Arab dalam universitas ini. “La tahsyin ya ukhti”, tegurnya, yang artinya “Janganlah khawatir”.
            Sesaat, dia menceritakan padaku tentang apa yang sudah terjadi padaku. “Saat antun lantunkan puisi tadi, sungguh ana menangis menyesali akan apa yang telah ana perbuat. Ana sangat bodoh sekali melakukan hal yang tak disukai Allah ini. Jiwa ini seperti hidup kembali, setelah sekian lama runtuh bagai puing-puing gempa di atas bumi ini. Apakah kamu ingin membantu ana? Keluar dari masalah yang telah menghimpit?”.
Lalu dengan tenang dan halus ku mencoba menjawabnya, ”Afwan, jika sebelumnya ana lancang melakukan hal seperti ini yang mungkin belum terlintas di benak antum. Ana ….”, ucapku padanya walau aku masih merasa belum kuat untuk berkata padanya.
 ”Kamu tak lancang melakukan ini. Malah ana ingin berterima kasih pada antun karena telah  membantu menghidupkan jiwa ana kembali, jiwa yang dulu pernah terbenam luka . Oh ya Zahra, tidak terasa ya kita dah hampir 7 tahun memegang ilmu yang sama, bersama, namun ana tidak begitu mengenalmu. Ana inget sekali saat pertama kita bertemu, kita seperti anak kecil saja, masih suka olok-olokan, dan suatu hari tanpa ana sadari, kamu memberiku isyarat untuk nama ana terpahat dihatimu. Iya kan, masih ingat pastinya. Ternyata puisi yang kamu buat mampu merubah jalan fikiran ana yang awalnya ingin bunuh diri malah sekarang sangat benci sekali dengan kata “Bunuh diri”. Gimana? Kamu sudah merasa baikkan kan?”, tukas Mahpud panjang lebar. Yang biasanya pada pelajaran Matematika,  panjang dikali lebar adalah luas segiempat .
            Jihan datang membuyarkan percakapanku dengan Mahpud. Jihan mengajakku untuk cek ke dokter tentang kesehatanku saat ini. Untunglah…
            2 hari kemudian, saat aku jalan-jalan mengelilingi kampusku, ku lihat dia mengumbar senyum padaku. Ku balas senyumnya walau hanya secuil.
“Zahra, kata Jihan kemarin kamu menangis? Ada apa? there’s some problems?”, tanyanya saat aku sedang melanjutkan menulis novelku yang berjudul “ Saatnya aku kembali” ini.
“Gak kok, Cuma masalah kecil”, tukasku dengan tegas.
            Hari-hari berlalu seperti biasanya.  Dan seperti biasanya, aku menggoreskan tinta pena warna biru ber-glitter. Dan sesaat aku temukan imajinasiku yang pernah lenyap kini hadir lagi tanpa satu undanganpun. Ku teringat kisah setahun yang lalu saat aku melantunkan sebuah syair untuk yang ingin bunuh diri, Mahpud. Ku teringat akannya yang hendak bunuh diri entah karena apa. Karena dia tak pernah mau membahas soal itu lagi. Namun aku masih ingin mengetahuinya.
“Jer, antum masih ingat sama kisahnya Mahpud yang setahun lalu pernah ingin bunuh diri? Antum tahu gak masalahnya apa?”, tanyaku penuh keheranan.
“Wah, kayaknya aku tahu. Tapi lebih kayaknya, aku gak tahu deh”, jawabnya dengan enteng.
“Gimana sih antum ini, pastinya antum tahu donk,.ya….. mbok menowo?!”, tanyaku lagi yang sedikit-sedikit mengikuti logat Jawanya yang medok itu.
“Apa? Mbok menowo? Dia sudah pulang balik kesini to.? Bareng sama Pak menowo gak? Wah….ana mau dong minta tanda tangannya… pasti seru ..”
“Heh.. antum ngomong apaan sih? Malah bercanda.. ya udahlah ana mau pulang dulu”, gerutuku sambil melangkah pergi.
“Wokay… be carefully ya ukhti”, jawabnya dengan mengacungkan jempolnya.
            Aku melangkah pergi meninggalkan Jery menyusuri jalan raya yang penuh polusi. Aku memilih jalan kaki daripada naik angkutan umum. Ya hitung-hitung untuk menghemat uang. Toh, kost ku tidak jauh dari kampus. Tak ku sangka, aku bertemu sang pengisi ruang hatiku, Mahpud.
“Zahra…awas…”, teriaknya padaku.
Ku tengok  kearah suara yang memanggilku. Naasnya, aku tertabrak truk yang mengangkut kayu-kayu bakar dari hutan yang katanya hendak  dikirim ke Bandung. Aku terlindas roda truk, tepatnya tangan kananku. Aku tak lagi sadarkan diri. Yang ku lihat  saat itu terakhir kalinya adalah wajah Mahpud yang setengah khawatir. Dan kekhawatirannya itu berbuah hasil. Yaitu aku ditabrak truk muatan itu.
            8 jam kemudian aku baru sadarkan diri. Kulihat sekelilingku. Jam dinding yang berdetak menunjukan pukul 1 malam. Mahpud yang tertidur di sofa ber-alaskan tas ranselnya, dan mengenakan jacket coklat kesukaanya. Aku pandangi dia terus-menerus. Mencoba menangkap bayangannya dan memahatkannya di jurang hati. Tak terasa perlahan air mataku jatuh menetes, mengucur bagai keringat. Saat ingin ku menggerakkan tangan kananku untuk mengelap  air mataku yang masih tersisa di pipi, aku terkejut bukan kepalang, “Aghhhhh………………”, teriakku yang membuat Mahpud terbangun dari mimpi panjangnya.
“YaAllah, kamu kenapa Zahra?”, kagetnya sambil menghampiri dipan kasurku.
“Mahpud, tangan kanan ku kemana? Apa yang telah terjadi? Jelaskan..! Ayo jelaskan….!”, teriakku sekali lagi.
“Tenang dulu Zahra, tanganmu…….tanganmu….”
“Iya, tanganku kemana”
“Tangan kananmu.. di… diamputasi..”, terbata – bata ia menjawabnya.
“Apa? Di amputasi? Kenapa?”, teriakku sehingga dokter pun datang ke kamar rawat itu. Ia menjelaskan semuanya. “Zahra, anda harus tenang dulu. Tangan anda di amputasi karena tulang di organ tangan anda telah hancur lemur yang jika tidak di amputasi akan mengganggu proses system gerak anda”, tegas Dokter berkacamata itu.
“Mahpud, kenapa ini semua terjadi padaku? Kenapa? “, berlinanglah aku dengan air mata.
“Zahra, ana tahu kamu wanita yang tegar. Ana yakin kamu bisa menjalani hari-hari yang akan datang sebagaimana biasanya. Jangan sedih sahabatku… ada ana disini”, hiburnya untuk meringankan beban sakitku. Karena saat itu hanya dia yang mengetahui langsung peristiwa penginjakan roda truk pada diriku.
“Syukron, akhi. Antum sudah membuat ana kembali bersemangat lagi”, terima kasihku padanya.
Dia membantuku menyeka sisa air mataku yang tertinggal di wajahku, karena aku juga tahu, bahwa tangan kiriku masih di infuse. Sungguh Ya Rabb, sungguh lembut sentuhannya. Aku bagai bayi yang baru saja dilahirkan yang mendapatkan kasih sayang  yang begitu besar dari sentuhan seorang ibu. Aku merasa seperti hidup kembali, setelah beberapa menit lalu aku merasa menyerah untuk hidup. Yang lebih dekat dengan keadaan mati.
“Anggap saja ini balas budi ana setahun lalu saat ana juga ingin menyerah untuk hidup. Dan kamu datang membawakan kedamaian dalam hati ana”, katanya sambil masih membantuku mengelap air mata dengan sapu tangan merah miliknya. Kesedihan itu cepat sekali berubah dengan tawa. Dia mampu membuatku semangat lagi. Tidak menyerah. Tidak malu  walau hanya memiliki satu tangan saja. Dia pun menyuruhku untuk memasukkan sejumlah butiran nasi agar perutku tidak kosong, dan untuk minum obat. Aku kembali tidur setelah ia menyingkapkan selimut di tubuhku. Allahu akbar. Aku sangat bahagia sekali. Karena di tengah-tengah kesedihanku, ada yang menghiburku. Dia pun kembali ke mimpinya, tidur lagi. Ku coba untuk sedikit menggerakkan tangan kiriku untuk takbir. Ku ingin lakukan sholat jama’ magrib dan isya’ yang akan ku lanjutkan dengan solat tahajjud. “Walau kamu dalam keadaan berbaring, janganlah lupa akan kewajibanmu untuk sholat 5 waktu. Karena sholatmulah yang pertama kali akan dihisab di Arsy-Nya kelak”, begitulah yang kuingat cuplikan ceramah Ustad Khoir dulu saat di pesantren sebagai nasehat utamanya untuk kami semua setelah menjadi alumni pesantren. Dan yang ku bisa saat ini adalah sholat menggunakan isyarat mata. Karena sungguh aku tak kuat walau hanya mengangkat tanganku. Air mata tak jenuh menetes kembali. Bahkan kali ini mengucur deras.
            Pagi yang berselimutkan embun membangunkanku dalam tidur panjangku. Ku dapati Mahpud tak lagi terbaring tidur di sofa, tapi di dekatku. Saat kubuka katup mataku, dia sudah tersenyum padaku, padahal jam dinding masih menunjukan pukul 7 pagi. “Astaghfirullah, ana telat solat subuh”, kataku pada diri sendiri.
“Bagaimana? Sudah agak mendingan?”, tanyanya memulai pembicaraan.
“Alhamdulillah, ana rasanya sudah agak mendingan. Antum gak siap-siap ke kampus?”, jawabku yang beserta pertanyaan.
“Gak ah, ana mau disini saja. Jagain kamu. Toh dosennya hari ini galak. Jadi gak mood deh”.
“Kok antum gitu? Kan ana disini sudah ada perawat yang akan jaga ana. Jadi tidak perlu khawatir. Yakinlah”.
“Nih, ayo makan dulu”, ajaknya. Dia memberiku sesuap nasi dengan lembut sekali. Penuh perhatian terhadapku. Ku berikan saja senyuman termanisku hanya untuk dia dan menjadi yang pertama kalinya.
            Dialah yang menemani hari-hariku karena sahabat baikku Jihan sedang ada tugas di luar kota, dan aku pun juga jauh dari keluarga. Dia juga yang memberiku semangat bahwa “Tak ada kata menyerah untuk seorang wanita yang tegar”.
Sampai pada suatu hari, ia mulai menyibakkan pertanyaan. Tak pernah ku sangka selama aku beberapa hari di rumah sakit, ia yang membawakan tasku. Dan ia telah membaca semua diaryku dari A hingga Z. Dari awal hingga akhir. Awal ku mencintainya 7 tahun yang lalu yang melalui mimpi hingga saat ini bahkan detik ini. Dia sendiri yang bercerita kepadaku. “ Zahra, ana sudah tahu semuanya tentangmu. Kamu tidak perlu malu untuk mengakuinya. Memang, dulu ana anggap itu hanya bercanda. Dan ternyata sampai saat ini pun kamu tak lelah untuk menungguku. Zahra, maafkan ana. Ana tidak pernah mau tahu mengerti isi hatimu dulu. Ana bahkan sering melukai hatimu dengan bercemburukan santriwati-santriwati dulu yang lainnya. Namun itu semua sudah menjadi masa lalu. Dan ana tak mau hidup di dalamnya lagi. Zahra, izinkan ana untuk menjadi Imammu. Dan izinkan ana untuk setiap kali mengecup keningmu dan mengatakan bahwa aku mencintaimu”, katanya padaku yang dengan suara desah nafas yang menyejukkan kalbu. Tak terasa ku mengucurkan lagi air mata ini. Tak bisa ku bendung rasa antara malu dan bahagia ini.
            Menginjak usia ke 22 tahun, aku syah dijadikannya pendamping hidup. Antara haru dan bahagia ku ucapkan padanya, “Musuhku dahulu telah menjadi sahabatku kemarin dan sahabatku kemarin telah menjadi kekasihku sekarang”.
“Kekasihku Zahra, ini cincin untukmu yang akan ku sarungkan sendiri di jari manismu, dan kalung ini akan ku letakkan sendiri di lehermu sebagai ganti gelang untuk tangan kananmu dan mengatakannya sendiri padamu bahwa aku mencintaimu dalam sujudku pada-Nya”.


_THE END_

Lukisan untukku



Hujan. Andaikan ia datang lagi membasahi kusamnya jendela ini. Namun hujan kini sepertinya enggan kembali menyapa. Meninggalkanku dalam kesendirian. Digantikan oleh teriknya matahari yang menyengat, membuatku tak betah bila berlama-lama di luar rumah, ingin segera masuk ke kamar saja mendekat kipas angin. Hujan tak bersalah, hanya saja karena ia aku tak bisa lagi memandangi wajah ayu bidadariku yang suka melukis kala hujan tiba.
Musim ini sungguh membuatku gusar. Sudah hampir dua minggu aku sama sekali tak pernah melihat gadis itu di teras rumahnya, walaupun rumahnya hanya berada di depan rumahku. Dia gadis China bermata sipit berkulit putih. Tak ayal pula bila banyak lelaki termasuk aku mencoba mendekatinya, walau harus pergi ke rumahnya. Aku sering termangu di dekat jendela berharap  dia akan muncul lagi dengan melukis di atas kanvasnya.
Malam ini udara panas sekali. Jendela yang biasanya tidak kubuka sekarang kubiarkan dari pagi tadi terbuka. Angin malam masuk menyegarkan tubuhku. Aku memandangi keadaan taman di depan rumahku. Bunga-bunga sudah tampak tak segar dari biasanya, karena Pak Tarno tukang kebunku sudah pulang ke kampung halamannya karena anaknya sakit parah.
Ya. Ada yang mengejutkanku. Sosok gadis dambaanku itu melukis lagi di atas kanvasnya. Aku terus memperhatikannya hingga dia selesai melukis. Tengah malam tiba, dia merapikan alat-alat lukisnya. Dia bergegas masuk sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sesungging senyum dia berikan padaku. Betapa indah malam ini bagiku. Namun entah, aku jadi bingung. Rasanya aku ingin sekali mencapai kesana, menemaninya melukis. Aku semakin penasaran, sebenarnya apa yang dia lukis? Apakah hanya sebuah titik-titik air kala hujan? Ataukah awan berkabut malam? Rasanya ingin sekali kaki ini menjangkau kesana. Kututup jendelaku rapat-rapat. Sudah kenyang dengan angin malam ini.
Esok hari, betapa aku terkejut bukan kepalang, gadis yang selama ini aku perhatikan datang ke rumahku menghampiriku dengan menyerahkan lukisannya. Lukisannya tentang aku yang sering memperhatikannya saat hujan kemarin.

drama monolog untuk lelaki berjas hitam


Untuk Lelaki Berjas Hitam
Rasanya hari ini ingin tidur saja. sudah terlalu capek badanku memunguti sampah-sampah berserakan disana. Paling-paling daun-daun kering itu terbang lagi kesana-kemari. Hmmm, capek sendiri kalau aku membayangkannya. Tapi kalaupun aku mengerjakannya, itu pasti lebih melelahkan. Ya sudahlah. Oh ya, apa aku hari ini pergi ke jalanan saja? membersihkan jalanan itu? Tapi hari ini aku malas sekali. Boro-boro untuk pergi ke jalanan itu, untuk mandi saja aku malas bukan main. Apalagi, uuuggghhh, bau sekali badanku ini. Biar saja lah.
Aku masih ingat saat aku menyapu pinggiran jalan itu. Aku bertemu dengan seorang lelaki kaya raya. Parfumnya dari kejauhan sudah bisa kucium. Harum sekali baunya. Saat dia mendekat ke arahku, aku mencoba untuk menyapanya. Karena pertama kali aku melihatnya dari kejauhanpun, aku sudah jatuh hati padanya. Saat aku menyapanya hanya acuh yang dia berikan. Tapi bodohnya aku saat itu, aku mengikuti langkah lelaki itu. Lalu lelaki itu menoleh kepadaku. Sedikit mengernyitkan hidungnya. Ah, aku baru tahu kalau saat itu aku belum mandi. Memang sudah hampir seminggu ini aku tak mandi. Rasanya badanku sudah panas dingin sendiri. Entahlah.
Aku ingat sekali apa yang diucapkannya saat aku mendekati lelaki berjas hitam itu.
“Hey, kau tukang sapu. Kenapa dari tadi mengikutiku? Sana pergi! Bau sekali badanmu itu!”
Begitulah dia membentakku. Hingga akhirnya aku kembali menyapu lagi. Hmm, betapa sedihnya hatiku saat itu. Tapi mungkin aku patut dikatakan seperti itu. Karena memang keadaanku adanya seperti itu. Tapi membersihkan jalanan itu kan tugasku? Aku mau makan apa kalau saja aku tidak menyapu jalanan itu? Kalau aku kembali menyapu jalanan itu, aku takut. Takut kalau saja aku bertemu dengan lelaki berjas hitam itu, lalu  dia mencaci makiku lagi? Oh tuhan, apa yang harus kulakukan?
Apa sebaiknya aku segera mandi saja? tapi sumur di belakang air sudah tak mengalir lagi? Atau aku numpang mandi di sumurnya mbok Darmi saja? tapi bagaimana dengan badanku? Badanku panas dingin. Aku sakit. Pusing rasanya kalau nanti aku harus berjemur di bawah terik matahari. Ah biarkan saja lah. Yang penting aku bisa makan.
Ya, aku akan numpang mandi di sumurnya mbok Darmi. Aku akan kesana. Sampah-sampah kering, tunggu aku, jangan pada terbang dulu. Aku akan segera memunguti kalian.
Rasanya segar sekali tubuh ini. Lebih bergairah dari biasanya. Maklum sudah hampir seminggu tidak mandi. Dan andaikan aku bertemu dengan lelaki berjas hitam itu lagi, aku akan mengatakan kepadanya kalau aku sudah mandi. Ya, aku sudah mandi. Biarpun aku hanya seorang tukang sapu jalanan, tapi aku tetap wanita yang ingin dicintai. Aku akan mempertebal bedak dan lipstikku agar lelaki berjas itu klepek-klepek saat melihatku. Hahaha....


drama monolog


Aku dan Tuyul-tuyul
Hari yang melelahkan. Tapi juga menyenangkan. Aku bisa bertemu lagi dengan kalian-kalian wahai tuyul-tuyul kecil. Kalian kan, yang menghabiskan uangku? Dimana uangku? Dimana kalian sembunyikan? Kenapa kalian diam saja? Ah, aku tahu, pasti kalian mau mengajakku berkejaran, kan? Hoooi, tunggu. Ah, ternyata lari mereka lebih kencang dariku. Kalau saja kalian kembali kesini, akan kuinjak-injak gundul kalian. Dasar tuyul tak tahu diri. Bisanya hanya mencuri.
Aku bekerja seharian peras keringat, namun hasilnya? Hanya tuyul-tuyul pemalas seperti mereka yang menikmatinya. Ah, bosan sekali hidup di dunia seperti ini. Andaikan aku bisa pergi dari tuyul-tuyul penjilat seperti mereka, pasti hidupku tak akan rancau seperti ini. Gak perlu banting tulang pagi sampai malam seperti ini.
Ah, hidup yang melelahkan.
Oh, aku ingat satu hal. Ya, aku akan minta sama Tuhan, biar aku diberi uang oleh-Nya. Aku juga mau minta sama Tuhan, biar tuyul-tuyul biadab itu segera pergi dari kehidupanku. Tapi, apakah Tuhan mau mendengarkanku? Ah, tidak mungkin Tuhan mau mendengarkanku. Aku ini tak patuh kepada-Nya. Ibadah saja aku tak pernah. Aku hanya bisa meminta kepada-Nya saat-saat getir seperti ini. Tapi kan Tuhan Maha Pengampun. Kalau aku minta ampun sama Tuhan, pasti Dia mengampuniku.
Oh tuhan, ampuni aku.
Namun pernah malam itu, saat aku bersulang ria dengan tuyul-tuyul itu, mereka berkata kepadaku,”Tuhan itu membenci orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Apalagi orang sepertimu, yang tak pernah mau beribadah sama Tuhannya.”
Tapi kali ini aku percaya kok, kalau Tuhan itu maha baik. Dia pasti mau mengampuniku, dan segera mengembalikan tuyul-tuyul itu kembali di hadapanku. Andaikan saja mereka sudah datang kesini, aku sudah siapkan ruang penjara bagi mereka. Biarkan saja mereka disana. Aku sudah tak mau peduli dengan bujukan mereka. Mereka sudah terlalu membuatku rugi dan bingung seperti ini.
Tapi sekarang uangku? Tak ada sepeserpun koin di saku celanaku. Dan perut ini, sudah semalaman aku tak mengisinya. Ah, hutang dulu saja lah. 

Hidup berawal dari mimpi



Pepatah di atas mungkin sangat sederhana sekali. Namun bila kita mencoba untuk mengulas maknanya, maka kita akan menemukan serta termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin kita belum memahami, bahwa sesungguhnya kekuatan yang terbesar adalah dari dalam diri kita sendiri. Bukan dari orang lain. Orang lain mungkin hanya saja sebagai perantara atau jembatan yang mengantarkan kita untuk segera menemukan diri kita masing-masing.
Banyak di antara kita yang menganggap mimpi atau impian adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Namun penelitian mengatakan bahwa “Yang bermimpi adalah yang berani untuk sukses.” Bila kita bermimpi, maka kita harus mau berusaha dan berdoa. Usaha tanpa doa itu sia-sia. Dan doa tanpa usaha itu mustahil.
Bila sudah menggantungkan suatu impian, maka pandanglah ke depan. Jangan hiraukan caci maki dan ocehan orang di sekitar. Karena yang sering kali terjadi saat ini adalah seseorang merasa minder atau merasa  dirinya tidak pantas untuk bermimpi demikian. Dikarenakan mendengarkan omongan dari orang-orang di sekitarnya. Sebetulnya hal itu tidak perlu terjadi. Karena secara sadar maupun tidak sadar, setiap orang akan mempunyai dan menentukan mimpinya sendiri-sendri. Jadi buat apa saling mengolokkan orang-orang yang sedang mengejar impiannya, dengan sebutan yang melemahkan semangatnya? Padahal, jalan menuju kesuksesan dari apa yang diinginkan itu sudah ada di depan mata. Tinggal satu langkah lagi. Ada beberapa tipe orang dalam menanggapi impiannya:
1.      Orang dengan tipe pertama ini cenderung bersikap optimis. Dia mampu menerima kritikan pedas dari orang-orang di sekitarnya. Diperolok dengan kata-kata apapun tak akan mampu menembus dinding keyakinan semangatnya untuk terus maju meraih impiannya. Orang seperti inilah yang diharapkan di masa ini. Tidak pernah kendur semangatnya, tidak pernah mengeluhkesahkan masalahnya dan selalu menganggap orang yang mencibirnya adalah orang yang bahkan memperhatikannya. Orang-orang yang seperti inilah yang selalu optimis bahwa impiannya akan segera menjadi kenyataan, bukan hanya sekedar impian belaka. Karena dia yakin sepenuhnya bahwa usaha dan doanya itu pasti tidak akan sia-sia dimakan waktu.
2.      Adapun orang yang termasuk tipe kedua ini dia cenderung mundur sebelum berperang. Artinya disini adalah bahwasanya orang ini bersikap pesimis, tidak yakin kepada kemampuannya sendiri. Selalu menganggap dirinya tidak mampu untuk menggapai apa yang sudah dia impikan. Orang seperti inilah yang nantinya akan hanya menggantungkan doanya tanpa dibarengi dengan usahanya. Orang-orang yang mencibirnya dan mengetahui bahwa yang dicibirnya itu adalah seorang yang pesimistis, maka mereka akan merasa puas sekali, karena satu rintangan di hadapan sudah berhasil disingkirkan. Orang dengan sikap pesimis seperti ini, mereka cenderung lemah, loyo dan merasa dirinya tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang lain.
3.      Orang dengan tipe yang ketiga ini adalah orang yang terus bersemangat untuk menggapai impiannya, namun dia lupa bahwa ternyata dia tidak mengimbangi usahanya dengan doa. Sudah dikatakan di atas, bahwa usaha yang tidak didampingi dengan doa maka usaha itu tetap akan sia-sia. Mungkin, memang dia sudah berhasil meraih impiannya. Namun apakah Tuhan ridho dengan jalan yang ditempuhnya? Tidak. Karena orang dengan tipe seperti ini pantas dikatakan sombong karena dalam usahanya meraih cita-cita tidak dibarengi dengan doa.
Boleh saja menggantungksan mimpi setinggi langit. Namun, sepantasnya sebagai manusia itu sadar, bahwa tugas utamanya adalah beribadah kepada Tuhannya. Bila bermimpi, perlu usaha dan doa. Karena dua hal itulah yang akan menjadikan mimpi berganti kenyataan. Bila berani hidup, harus berani pula untuk bermimpi. Karena mimpi adalah jalan untuk mengetahui siapa sebenarnya diri kita.

Selamat bermimpi wahai pemimpi!

my pet


www.spacezapper.com