Roman si Abu
“Mak, kepala reognya dimana?,” tanya Roman yang masih bergelut dengan ikatan tali di badan merak.
“Ambillah di gudang. Kalau ototmu tak lebih kuat dari Mak biar Mak nanti yang mengambilnya,” jawab Mak Panut, Ayahnya. Roman tak mengindahkan ejekan Maknya. Dia melangkah ke gudang dengan langkah terlalu lemah, dengan bertambah peluh keringat mengucur di kaos lungsuhnya. Lelah ternyata sudah mengganduli pundaknya, berkata agar jangan beranjak sejenak dari kursi lempengnya. Diambillah kepala reog. Dengan keinginannya yang kuat dia bisa menunjukkan bahwa ototnya bisa seperti Maknya. Dijatuhkannya kepala reog di depan Maknya yang sedang menabuh gendang.
“Esok lagi tak usah kau mengangkatnya. Lihat dirimu! Semakin kerempeng kalau kau terus-terusan mengangkatnya. Makanlah dulu, seusainya latihan di tempat Pak Wasis. Teman-temanmu jam segini sudah teler menunggumu,” ucap Mak.
Hanya mengangguk perlahan.
Roman harus segera mengenakan atribut untuk pentasnya siang. Ia tak mau membuat orang yang melihatnya menghara-huru cemooh untuknya dan kawan-kawannya. Terdengar dan terlihat jelas, tak ada seorangpun yang tak bersorak menepuk-nepuk tangannya sendiri sebagai upah atas kerja keras para Bala reog.
“Siang ini terik matahari menyengat sekali. Rasanya tak kuat jika aku berdiam terduduk disini mengenakan pakaian serba gelap,” ucap Roman yang sesekali meneguk air botolan di tangannya. Dengan mata genitnya, diliriklah perempuan berbaju tari di sampingnya yang meneguk es campur.
“Laras, kau tak gerah jika setiap tampil kau mengenakan serba tutupan seperti itu?”
“Maksudmu, kerudungku ini? Sudah menjadi kelancaranku sebagai perempuan. Suatu saat kau akan tahu sendiri kenapa aku selalu bertutup seperti yang kau bilang.”
Roman hanya mengangguk dan seolah membenarkan ucapannya.
Di ujung jalan, terlihat Pak Wasis menghampiri Roman. Namun bukan dia, tapi Laraslah yang menjadi sasarannya. Mendekat dan aroma tubuhnya semakin tercium hebat.
“Hei Laras, sudah kubilang berapa kali padamu. Jangan kau kenakan lagi kerudung seperti itu. Kau tak terlihat bersama kawan-kawanmu yang lain,” bentak Pak Wasis memegangi pinggulnya bak mandor.
“Pak, mohon pengertian, sampai kapanpun saya tak akan pernah melucuti kerudung ini. Toh juga tak ada penonton yang komentar tentang ini,” jawab Laras tegas.
“Laras, tak usah kau kembali ke paguyubanku, sebelum kau seperti kawan-kawanmu.”
“Demi nama Allah saya tak akan mendengar lagi perintah busuk Anda, Pak,” teriak Laras menjauh dari semuanya. Mengganti pakaian di tubuhnya yang cocok dengan pakaian biasa.
“Allah? Siapa Allah?” fikir Roman dalam hatinya.
Lima menit berlalu, tampak Laras mengencangkan kakinya untuk melangkah ke dalam angkot. Tanpa ia sadari, Roman mengikutinya, berdampingan di sebelahnya. Dengan raut wajah intel Roman mengajukan pertanyaan,”Siapa Allah?”
“Kau tak mengenal-Nya?” tanya Laras memandang bulat bola mata Roman. “Aku tak mengetahui-Nya bagaimana mungkin aku mengenal-Nya?”
“Allah yang menciptakan aku, kamu, dan seluruhnya yang ada di dunia ini. Roman, kenapa kau mengikutiku?”
“Hebat sekali Dia. Pertemukan aku dengan-Nya. Aku ingin mengadukan semuanya. Betapa lelahnya hampir setiap hari mengangkat kepala reog.”
“Tak mungkin kau bertemu dengan-Nya kecuali di surga-Nya nanti. Kau hanya bisa merasakan kehadiran-Nya.”
“Kalau menurutmu seperti itu, biarkan aku mengikutimu. Ajari aku untuk mengenal yang telah menciptakanku.”
Sesampainya di tempat tinggal Laras dengan segala kehidupannya yang sesungguhnya.
“Semuanya berkerudung sepertimu dan bersarung,” ucap Roman kagum akan keadaan di tempat tinggal Laras. “Pesantren Darul Arqom? Tempat apa ini? Rumahmu disini?” lanjutnya.
“Orangtuaku pimpinan pesantren ini. Kau bisa tinggal disini jika kau masih ingin mengenal Allah.”
“Ya, aku pasti akan betah jika berlama disini. Dan aku memegang kata-kataku bahwa tak akan kutinggalkan tempat ini sebelum aku mengenal Alah.”
“Bukan Alah, tapi Allah,” jelas Laras.
***
Berganti hari, semakin ia merasakan kehadiran Yang dirindukannya. Segar di jiwanya sudah dirasakannya baru delapan belas tahun ini.
Pagi. Matahari terus merangkak naik menghiasi langit, menghangantkan bumi.
Derap langkah Maknya terdengar di luar gerbang pesantren. Ke kanan lalu ke kiri, berharap menemukannya. Berpakaian penuh hitam dan rambut gondrong semakin menambah seluruh santri merinding terbirit ketakutan. Mak menemukan Roman. Mak memaksa agar Roman segera kembali ke rumahnya. Tak cocok dia berada di lingkungan seperti di pesantren yang dihuninya.
“Roman, ayo pulang. Untuk apa kamu berada di tempat seperti ini?”
“Roman ingin mengenal Tuhan, Mak.”
“Kau bilang kau ingin mengenal Tuhan? Tak akan pernah mengubah hidupmu. Mak sudah merasakan hinaan Tuhan. Tuhan tak pernah mau sayang pada umat-Nya.”
“Karena Mak juga tak mau sayang pada Tuhan. Jadi tak ada salahnya jika Tuhan menjadikan Mak buta dan tuli terhadap perintah-Nya.”
“Ah! Persetan dengan Tuhan. Segeralah kau pulang. Kepala reogmu rindu padamu. Janganlah kau tinggal disini lagi. Kalau kau tak mau kembali...”
“Kenapa? Mak mau membunuhku?”
“Akan kuludeskan pesantren ini. Kutunggu kau sampai di rumah nanti sore. Kalau tidak, lihat malammu nanti!”
Malam harinya, seusai pengajian rutin malam Jum’at, terdengar bunyi-bunyian musik gendang keras. Teriak dan tawa bahak seolah menyempurnakan kehadiran rombongan yang memekakkan telinga di sekerubung pesantren. Hanya berhenti di depan gubuk tak melangkah sedikitpun ke gerbang pesantren. Sudah ada seonggok kayu berkepala api di tangannya, bersiap untuk melemparaknnya ke arah dalam pesantren.
“Roman, pulang kau! Kalau tak segera pulang, akan kuhanguskan tempat ini,” teriak Mak Roman.
“Mak, tapi Roman belum menemukan Tuhan,” jawabnya sambil berlari mencegah perlakuan Maknya.
“Tuhan tak sayang padamu. Jangan kau mengharapkan-Nya. Harapanmu hanya pada reog ini,” bentak Mak. “Oh, perempuan itu yang menyeretmu kesini?” ucap Mak sambil menunjuk ke arah Laras.
“Istighfar Mak, jangan berkata seperti itu. Tuhan bisa menghukum kita.”
“Kalau begitu, tunjukkan dimana Tuhanmu. Ayo tunjukkan!”
Sulutan api sudah menyambar gubuk peyok di depannya. Seluruh isi pesantren tak ada yang berani mendekat atas amukan si Mak Roman.
“Mak, bakar Roman sekaligus. Biar Mak puas. Biar Mak tak punya siapa-siapa lagi kecuali dengan setan di reog itu. Biar Roman bisa segera mengadukan pada Tuhan tentang perlakuan Mak pada Roman.”
“Darmo, Parno kesini. Bakar anak durhaka ini!”
“Tunggu sebentar, Pak. Bukan saya ikut campur masalah yang sedang anda hadapi. Relakan jika putra anda menginginkan dirinya menemukan jiwanya dan Tuhannya,” cegah ayah Laras, Pak Kyai pesantren Darul Arqom.
“Hei, dasar kau tua bangka! Jangan kau menasehatiku seperti itu. Kaulah yang membuat Roman meninggalkanku.”
“Biarlah Pak Kyai, Roman sudah siap jika malam ini juga bertemu dengan Tuhan. Menjauhlah dari gubuk ini. Sebentar lagi Roman akan menjadi abu, Pak Kyai.”
“Ayo Darmo, bakar dia. Anak tak tahu diuntung!”
Hanya linangan cairan bening yang terlihat di pelupuk mata para Santri dan Kyainya. Tidak bisa menghindari amukan Raja reog malam yang mengaung berderu kencang melanda angin.
“Tunggu! Jangan lakukan itu,” teriak Laras berlari ke arah gubuk. Langkahnya terhalangi oleh Ayahnya.
“Biarlah Nduk, memang sudah menjadi keinginannya yang kuat untuk segera bertemu dengan Tuhannya. Ingatlah anakku, kau sudah membawanya ke jalan yang benar. Tuhan akan menerimanya.”
Terlihat badan Roman tertunduk bersujud ke arah kiblat. Abu sudah mengganti raganya.
“Hahaha....” Suara bahakan si Mak dan balanya terdengar jelas dan keras di telinga. Para Bala reog melangkah pergi tanpa sedikitpun rasa dosa menyelimuti hati mereka.
Api yang menyulut gubuk dan tubuh si Roman dipadamkan. Tak ada yang tak terlihat mengucurkan airmata kesedihan memulangkan pemuda seperti Roman yang benar-benar merindukan Tuhannya.
“Ya Allah, terima dia. Ketegaran pemuda ini untuk bertemu dengan-Mu bahkan bisa menghantam maut-Mu. Tempatkan dia di pangkuan-Mu,” do’a Pak Kyai sambil mengumpulkan tubuh Roman yang sudah menjadi abu.
“Ayah,” panggil Laras.
“Sabar ya, Nduk. Semua ini bukan salahmu. Sudah menjadi kehendak Allah semuanya berakhir seperti ini.”
Angin malam bersemilir mengusik raga. Terdengar kembali lantunan ayat-ayat suci yang membuat hati semakin ikhlas menerima semuanya.