.

Glitter Text
Make your own Glitter Graphics

selamat datang.........

semoga Allah selalu memudahakn jalan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh

mungkin ini adalah saya

Foto saya
asalamu'alaikum wr.wb, dalam naungan Ridho Illahi semoga hidup penuh kedamaian walau didahului oleh permusuhan.. salam ukhuwah islamiyah

pesan hati

rindu.....
bila hatiku rindu, aku ingin menangis, ingin menjerit, berteriak. aku ingin mengais air mataku. namun hati tak mengizinkan. terkadang hati marah padaku. hati berkata padaku,"wahai anak manusia, jangan kau bebani fikiranmu dengan emosimu. jangan salahkan aku selalu. rindu yang kau alami bukan salahku. jangan salahkan aku untuk menariknya kepadamu".
"wahai hati, aku tak menyalahkanmu, aku hanya ingin kau tahu, bahwa rindu ini tak pantas untukku",kataku.
"jangan salahkan rindu itu. karena rindumu tak kan pernah menyakitimu".

kataku

bismillahirrohmanirrohim,
aku mencoba untuk menggugah semangat kecintaan yang dulu pernah kendur.
cinta bukan sebuah pena, yang seenaknya saja dicoretkan diatas lembaran putih tak berdosa untuk menggapai satu makna. tapi cinta adalah lembaran putih itu sendiri. terkadang, pena dan lembaran putih bertengkar untuk menentukan tangan mana yang akan memilihnya. bila ia memilih pena maka tidak mustahil bahwa suatu saat nanti tangan akan merasa kecewa. bila tangan memilih lembaran putih maka tidak mustahil pula bila suatu saat hingga tangan itu telah tiada akan merasakan kebahagiaan walau sebentar.
aku tidak mmenyalahkan pena maupun memuji si lembaran putih. namun ini kenyataan yang aku hadapi. dan menurutku ini adalah sebuah gambaran tentang cinta.
aku bukan orang puitis yang bisa memainkan kata. kata-kataku memang sederhana, karena inilah aku, tak lebih dari sebuah penghapus yang dibutuhkan hanya karena diperlukan.
terimakasih untuk para pembaca. semoga dengan kata-kata yang sederhana ini, aku denganmu bisa menjalin ukhuwah islamiyah.

DEMI FAJAR

Ku lirik jam dinding merah marun di sudut kamarku yang kurang lebih berukuran 5x5 m2 terus berdetak menunjukkan arah jarum jam 02.40 dini hari. Tidak terlalu dini untuk anak seumuranku, gadis remaja 17 tahun jika ada waktu Lail untuk sejenak sujud dan mengadu pada Sang Kholiq. Aku putuskan untuk membuka mataku lebar-lebar, guna ku akan beranjak dari tempat tidurku. Di kamar mandi samping kamar Ibu dan Bapakku tempat yang ku tuju untuk membasuh sebagian badanku, agar kurasakan kesegaran hawa dini hari, atau mungkin bisa saja, orang-orang menyebutnya dengan wudlu. Aku teringat akan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dulu, “ Basuhlah sebagian tubuhmu saat kau telah beranjak dari tidurmu, karena sesungguhnya agama Islam penyempurna ini cinta pada kebersihan”. Ya, seperti itulah kanjeng Nabi menuturkan.




Ku ambil sajadah dan mukena di balik rak buku, tepatnya di almari pakaianku. Kubentangkan sajadah merah muda yang kini warnanya sudah mulai pudar. Namun manfaatnya tidak akan pernah pudar sampai tiada hari lagi. Ku bersimpuh dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Mengadu dan memohon sejadi-jadinya, berharap aku tidak merasakan lagi nafas yang selalu hambur saat melakukan aktifitas. Yang biasanya saat aku membantu bapakku mengangkat barang-barang, oksigen sungguh sulit sekali rasanya untuk masuk ke dalam paru-paru mungilku. Boleh saja itu asma. Aku mengidap asma sudah sejak umur 13 tahun. Ku jalani hari-hariku sebagaimana biasanya walau terkadang penyakit ini datang tanpa undangan. “ Ya Tuhan… beri hamba-Mu ini kelapangan dada untuk bisa merasakan dan menikmati apa yang telah Kau berikan pada hamba. Karena hamba yakin dan percaya, suatu hari nanti Kau akan mengambil apa yang ada pada hamba”, begitulah sepercik do’aku yang mungkin lebih sering ku panjatkan pada Pemilik nyawa ini.




Ku pandangi jam yang sedari tadi berdenting keras. Arahnya menunjukkan pukul 05.00 pagi.” Astaghfirullah, aku ketiduran saat sholat tadi”, pekikku dalam hati. Segera kulaksanakan solat Shubuh.




Pagi ini sepertinya embun sedang enggan menyapa. Tak kudapati ia di ranting pohon depan rumah. Padahal ia berjanji akan menyapaku pagi ini diatas pipiku. “ Dian…… bantu bapak angkat barang-barang ini. Ibumu masih sibuk dengan kerjannya. Ayo Dian, buruan.. keburu dipatok ayam nanti rezeki kita”, ujar bapakku yang memang setiap harinya selalu sibuk mengangkat barang-barang untuk dijualnya di pasar. “ Iya bapak”, jawabku singkat. Ku langkahkan kakiku mendekatinya. “ Jangan lupa, cabe yang di karung paling besar itu juga dimasukkan”, tegas bapakku. “ Iya bapak”, jawabku sekali lagi dengan singkatnya seperti jawabanku yang mula tadi saat ia memanggilku. Di tengah kesibukanku mengangkat barang, Risna teman karibku muncul tanpa di undang pula,” Benar kata bapakmu itu Din, kalau gak segera diambil, rezekinya bakal diambil dulu sama ayam, alias orang lain yang lebih beruntung”.




“ Risna, kamu pagi-pagi gini kok sudah apel dirumahku? Cari mas Didin? Atau …”, tebakku.




“ Atau apa? Tadi itu aku gak sengaja lewat sini, habis dari mengantar ibu ke jalan Suromenggolo. Aku dengar sekali suara khas bapakmu, saat bilang tentang rezeki itu”, ujar Risna.




“Oh ya, nanti kita bahas lagi masalah rezeki di kelas ya, sekarang aku masih harus bantu mengangkat barang-barang ini. Kalau kamu masih tetap disini saja, mungkin sampai besok, kerjaan ini gak akan kelar”, kataku.




“Toyyib, fahimtu ya ukhti, sa adzhab (ok, aku faham, aku akan pergi kok), assalamu’alaikum”, katanya dengan nada menyerah.




“ Wa’alaikumsalam, ya ukthi”, jawabku.




Jam berlalu dari angka 6. Saatnya aku untuk melaksanakan kewajibanku dalam menuntut ilmu. Madrasah Aliyah II tempat yang akan ku kunjungi dan bahkan sampai setahun setengah lagi aku di tempat itu. Aku mulai merasakan oksigen sulit sekali rasanya untuk ku hirup. Padahal pagi ini, awan dan udara cenderung bersahabat. “ Mungkin karena aku kelelahan membantu bapak mengangkat barang-barang tadi pagi”, tebakku dalam hati kecil.




Sesampainya, pukul 06.40 aku telah sampai di halaman depan ruang guru. Aku merasakan sakit yang luar biasa pada dadaku. Sungguh aku sangat sulit sekali untuk bisa menghirup oksigen. Apalagi perjalananku dari rumah hingga madrasah bisa memakan waktu kurang lebih 15 menit dengan mengayuh sepeda ontel milik ayahku dulu.




Tak tahu apa yang telah terjadi padaku. Aku terbangun dari pejaman mataku. Kulihat jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Sejenak aku bingung dengan apa yang telah terjadi padaku. Namun hal ini bukan hal baru untukku. Aku mulai sadar bahwa aku berada di rumah sakit. Aku bernafas dibantu dengan selang kecil di bawah hidung, dan juga terdapat beberapa infuse di tanganku.




“ Alhamdullilah, kau sudah sadar? Tadi aku panik sekali. Kamu jatuh di depan ruang guru. Pak Isyaq yang sudah bawa kamu kesini. Beliau langsung memberi tahuku bahwa kamu pingsan. Ya sudah aku langsung kesini, nungguin kamu. Kamu gak papa kan?”, jelas Risna panjang lebar.




“ Ih…kamu seperti seorang Ibu aja. Takut jika anaknya sakit. Iya, ini sudah agak mendingan. Kamu gak ikut pelajaran? Kan ini waktunya Bu Aisyah, Ta’lim muta’alim?”, ujarku padanya.




“ Ah..gak aja. Lagi BM. Bad Mood gitu”, katanya sambil meraihkan segelas air putih dimeja sebelah ku berbaring.




Ku duga bahwa dokter akan memeriksaku sebentar lagi. Pradugaku benar. 5 menit kemudian dokter menghampiriku. Kacamata yang tebal, dan jenggot mengesankan watak keras pada dirinya. Namun ternyata tidak. Bahkan sebaliknya, ia sangat santun sekali dalam berbicara dan bertingkah. Aku sudah diperbolehkan pulang, jika memang aku sudah kuat dan merasa tidak memerlukan bantuan tabung oksigen itu. Sejam kemudian, aku beranjak meninggalkan ruangan yang penuh dengan aroma obat-obatan. Dengan diantar pak Isyaq yang sedari tadi sudah di telfon Risna untuk membantuku pulang ke rumah nanti.




Sesampai dirumah, Ibu dan Bapak sudah panik menungguku. Ternyata mereka sudah tahu bahwa tadi aku pingsan dan sempat dilarikan kerumah sakit. Mereka ingin sekali menengokku kesana, namun mobil growong yang biasa dibawa bapak masih dipinjam sebentar oleh bang Alen untuk mengambil bawang ke desa seberang.




“ Gimana nduk, sudah merasa mendingan belum. Tidur di kamar Ibu aja, nanti Ibu pijitin. Kamarmu masih dibersihkan sama mas-mu”, pekik Ibuku dengan penuh kekhawatiran (sambil membopongku ke kamarnya).




“ Terima kasih banyak ya pak, sudah mau mengantarkan Dina sampai rumah. Maaf sekali jika keadaan rumah kami seperti ini. Haha…maklum, rakyat kecil”, kata Bapak.




“ Jangan merendah seperti itu pak. Biar miskin harta yang penting kaya hati. Saya merasakan kesederhanaan dan kekayaan di keluarga ini. Keluarga yang sejahtera. Pak, apa Dina sudah sering sakit seperti ini?”, Tanya pak Isyaq.




“ Iya, sudah 4 tahun ini dia mengidap asma. Namun akhir-akhir ini parah. Sering keluar masuk rumah sakit. Untung saja keluarga kami mendapat surat tanda miskin. Jadi biaya rumah sakit sudah ditanggung sama pemerintah. Dokter-dokter di rumah sakit itu sudah mengenal Dina. Ya, karena Dina sering kesana. Haha, ngamar disana. Obat-obatan sudah menjadi makanannya. Sekali ia telat minum obat, dia akan merasakan sesak yang luar biasa”, jelas Bapak lengkap seperti apa yang sudah di paparkan dokter Adi 4 bulan yang lalu.




“ Bapak yang sabar ya, sesungguhnya Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Saya yakin, keluarga bapak adalah orang yang kaya dan kuat. Di balik ini ada hikmahnya pak. Sudah ketentuan dari Gusti Allah apa yang telah menimpa keluarga sakinah Bapak. Pak, saya mohon pamit dulu, takut jika nanti anak-anak bingung mencari saya, karena saat ini ada ujian Hadist. Saya permisi dulu, pak, salam untuk Dina dan Ibu, assalamu’alaikum”, tukas pak Isyaq, yang aku pun juga bisa mendengar kata-katanya dengan jelas.




Hari berganti hari, hingga berganti bulan. Masih seperti kebiasaanku untuk konsumsi obat secara rutin. Dini hari ini ada yang mengganjal dalam benakku. Saat seperti biasanya aku terbangun dari tidur dan mimpi indahku, aku mengambil air wudlu yang sedikit sekali kupercikan karena hawa pun rasanya juga berbeda dengan malam-malam kemarin, sedikit agak menusuk ruas-ruas tulang badanku. Takut jika seandainya nanti asma datang melanda tubuh yang semakin mungil ini. Sesaat setelah ku hadapkan jiwaku pada yang telah menciptakanku, kulantukan syair-syair indah dari Al-qur’an. Tak terasa pipiku telah basah oleh air mata. Air mata yang menggenang di bawah mataku sepertinya berhasil membuat jejak. Jejak bengkak yang bisa membuatku kelihatan seperti empunya mata sipit.




Detik-detik berlalu, aku memilih tidak masuk sekolah hari ini. Karena aku ingin dirumah saja hari ini. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku mengangkat barang-barang untuk dibawa ke pasar. Namun hanya sebentar saja aku membantu bapak. Karena rasa sesak sudah dahulu menghampiriku. Aku memilih untuk istirahat sejenak di ruang depan tv. Aku tertidur. Bahkan pulas. Aku bermimpi, aku berada di tempat seperti di desa. Penuh dengan bunga-bunnga bermekaran yang indah sekali. Aku melihat banyak sekali kupu-kupu berwarna-warni. Namun disitu, kebingungan datang padaku,” Mengapa disini sepi?”. Aku merasa sangat bahagia sekali di tempat yang ku sebut desa ini. Sangat luas. Maha luas.




“Din, bangun ! ayo sholat dhuhur. Ada teman-temanmu disini”, ujar mas Didin.




Aku terperanjat dari tidurku. Ku lihat di sekelilingku sudah banyak teman madrasahku. Aku bingung mengapa mereka ada di rumahku? Dan siapa yang membawa mereka kesini? Apa tujuannya? Ternyata aku sudah dua hari tertidur. Rasanya masih sejam yang lalu. Namun saat ku buka mata, yang kurasakan masih sama, hawa dingin yang menusuk tulang, dan awan biru tersenyum padaku.




“ Lho…..kalian disini? Kok tidak sekolah?”, tanyaku.




“ Din, kami jenguk kamu. Kata Risna kamu sakit lagi. Sudah dua hari tiada kabarmu. Entah angin mana yang membawa hati kami untuk menjengukmu”, ujar Tofik mewakili teman-teman lain. Kurang lebih ada 40an temanku yang menjengukku. Ada yang mengganjal di benakku. Rasanya, sakit yang selama ini mengurungku, kini seperti tak kurasakan lagi. Hilang, lepas dan bebas.




“ Din, ini pialamu”, tukas Tofik.




“ Piala apa?”, tanyaku bingung.




“Piala kejuaraan. Kamu memenangkan lomba debat Bahasa Arab mengenai ringkasan surat al-Fajr, dan ini pialanya. Masa kamu sudah lupa? Perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, kawanku. Aku bangga berteman denganmu. Aku dan teman-teman berharap kamu bangkit dari sakitmu. Kamu pasti bisa sembuh Din. Kita semua sayang kamu, Din. Dan tak pernah terlintas di benak jika harus kehilanganmu”, jawab Tofik.




“ Ahhahahaha…… kamu bicara apa sih, aku kan gak pergi kemana-mana. Jadi tidak mungkin aku hilang.. kan aku sekarang disini. Terima kasih ya, kalian sungguh baik sekali padaku. Aku, belum bisa membalas kebaikan kalian. Biar Allah saja nanti yang membalasnya. Oya, bagaimanana keadaan pak Jarot? Beliau masih di rawat di rumah sakit?”, aku angkat bicara.




“ Alhamdulilah, beliau sudah sembuh. Sungguh luar biasa perjuangannya untuk sembuh. Ikhtiar dan do’anya tiada henti. Maka Allah mengabulkan segala do’anya untuk bisa segera sembuh dari penyakit batu ginjal itu. Sekarang, banyak murid-murid yang suka padanya”, ujar Tofik.




“ Kok bisa, bukankah beliau terkenal galak?”, tanyaku penuh dengan penasaran.




“ Jenggotnya sudah dikupas habis”, jawab Tofik




“ Hahahahahhahahah”, tawa teman-teman menggelegar dirumahku.




Sesaat kemudian, di tengah gelagak tawa mereka entah apa yang menyuruhku melantunkan sebuah lagu :




Bukankah hati kita telah lama menyatu




Dalam tali kisah persahabatan Illahi




Genggam erat tangan kita terakhir kalinya




Hapus air mata meski kita kan terpisah




Selamat jalan teman




Tetaplah berjuang semoga kita bertemu kembali




Kenang masa indah kita seindah hari ini




Sesaat kudengar lantunan ayat :




$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷Š$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷Š$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ




27. Hai jiwa yang tenang.




28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.




29. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,




30. Masuklah ke dalam syurga-Ku




Sejuk, tenang, damai, dan……………… gelap.


































DEMI FAJAR

Ku lirik jam dinding merah marun di sudut kamarku yang kurang lebih berukuran 5x5 m2 terus berdetak menunjukkan arah jarum jam 02.40 dini hari. Tidak terlalu dini untuk anak seumuranku, gadis remaja 17 tahun jika ada waktu Lail untuk sejenak sujud dan mengadu pada Sang Kholiq. Aku putuskan untuk membuka mataku lebar-lebar, guna ku akan beranjak dari tempat tidurku. Di kamar mandi samping kamar Ibu dan Bapakku tempat yang ku tuju untuk membasuh sebagian badanku, agar kurasakan kesegaran hawa dini hari, atau mungkin bisa saja, orang-orang menyebutnya dengan wudlu. Aku teringat akan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dulu, “ Basuhlah sebagian tubuhmu saat kau telah beranjak dari tidurmu, karena sesungguhnya agama Islam penyempurna ini cinta pada kebersihan”. Ya, seperti itulah kanjeng Nabi menuturkan.


Ku ambil sajadah dan mukena di balik rak buku, tepatnya di almari pakaianku. Kubentangkan sajadah merah muda yang kini warnanya sudah mulai pudar. Namun manfaatnya tidak akan pernah pudar sampai tiada hari lagi. Ku bersimpuh dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Mengadu dan memohon sejadi-jadinya, berharap aku tidak merasakan lagi nafas yang selalu hambur saat melakukan aktifitas. Yang biasanya saat aku membantu bapakku mengangkat barang-barang, oksigen sungguh sulit sekali rasanya untuk masuk ke dalam paru-paru mungilku. Boleh saja itu asma. Aku mengidap asma sudah sejak umur 13 tahun. Ku jalani hari-hariku sebagaimana biasanya walau terkadang penyakit ini datang tanpa undangan. “ Ya Tuhan… beri hamba-Mu ini kelapangan dada untuk bisa merasakan dan menikmati apa yang telah Kau berikan pada hamba. Karena hamba yakin dan percaya, suatu hari nanti Kau akan mengambil apa yang ada pada hamba”, begitulah sepercik do’aku yang mungkin lebih sering ku panjatkan pada Pemilik nyawa ini.


Ku pandangi jam yang sedari tadi berdenting keras. Arahnya menunjukkan pukul 05.00 pagi.” Astaghfirullah, aku ketiduran saat sholat tadi”, pekikku dalam hati. Segera kulaksanakan solat Shubuh.


Pagi ini sepertinya embun sedang enggan menyapa. Tak kudapati ia di ranting pohon depan rumah. Padahal ia berjanji akan menyapaku pagi ini diatas pipiku. “ Dian…… bantu bapak angkat barang-barang ini. Ibumu masih sibuk dengan kerjannya. Ayo Dian, buruan.. keburu dipatok ayam nanti rezeki kita”, ujar bapakku yang memang setiap harinya selalu sibuk mengangkat barang-barang untuk dijualnya di pasar. “ Iya bapak”, jawabku singkat. Ku langkahkan kakiku mendekatinya. “ Jangan lupa, cabe yang di karung paling besar itu juga dimasukkan”, tegas bapakku. “ Iya bapak”, jawabku sekali lagi dengan singkatnya seperti jawabanku yang mula tadi saat ia memanggilku. Di tengah kesibukanku mengangkat barang, Risna teman karibku muncul tanpa di undang pula,” Benar kata bapakmu itu Din, kalau gak segera diambil, rezekinya bakal diambil dulu sama ayam, alias orang lain yang lebih beruntung”.


“ Risna, kamu pagi-pagi gini kok sudah apel dirumahku? Cari mas Didin? Atau …”, tebakku.


“ Atau apa? Tadi itu aku gak sengaja lewat sini, habis dari mengantar ibu ke jalan Suromenggolo. Aku dengar sekali suara khas bapakmu, saat bilang tentang rezeki itu”, ujar Risna.


“Oh ya, nanti kita bahas lagi masalah rezeki di kelas ya, sekarang aku masih harus bantu mengangkat barang-barang ini. Kalau kamu masih tetap disini saja, mungkin sampai besok, kerjaan ini gak akan kelar”, kataku.


“Toyyib, fahimtu ya ukhti, sa adzhab (ok, aku faham, aku akan pergi kok), assalamu’alaikum”, katanya dengan nada menyerah.


“ Wa’alaikumsalam, ya ukthi”, jawabku.


Jam berlalu dari angka 6. Saatnya aku untuk melaksanakan kewajibanku dalam menuntut ilmu. Madrasah Aliyah II tempat yang akan ku kunjungi dan bahkan sampai setahun setengah lagi aku di tempat itu. Aku mulai merasakan oksigen sulit sekali rasanya untuk ku hirup. Padahal pagi ini, awan dan udara cenderung bersahabat. “ Mungkin karena aku kelelahan membantu bapak mengangkat barang-barang tadi pagi”, tebakku dalam hati kecil.


Sesampainya, pukul 06.40 aku telah sampai di halaman depan ruang guru. Aku merasakan sakit yang luar biasa pada dadaku. Sungguh aku sangat sulit sekali untuk bisa menghirup oksigen. Apalagi perjalananku dari rumah hingga madrasah bisa memakan waktu kurang lebih 15 menit dengan mengayuh sepeda ontel milik ayahku dulu.


Tak tahu apa yang telah terjadi padaku. Aku terbangun dari pejaman mataku. Kulihat jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Sejenak aku bingung dengan apa yang telah terjadi padaku. Namun hal ini bukan hal baru untukku. Aku mulai sadar bahwa aku berada di rumah sakit. Aku bernafas dibantu dengan selang kecil di bawah hidung, dan juga terdapat beberapa infuse di tanganku.


“ Alhamdullilah, kau sudah sadar? Tadi aku panik sekali. Kamu jatuh di depan ruang guru. Pak Isyaq yang sudah bawa kamu kesini. Beliau langsung memberi tahuku bahwa kamu pingsan. Ya sudah aku langsung kesini, nungguin kamu. Kamu gak papa kan?”, jelas Risna panjang lebar.


“ Ih…kamu seperti seorang Ibu aja. Takut jika anaknya sakit. Iya, ini sudah agak mendingan. Kamu gak ikut pelajaran? Kan ini waktunya Bu Aisyah, Ta’lim muta’alim?”, ujarku padanya.


“ Ah..gak aja. Lagi BM. Bad Mood gitu”, katanya sambil meraihkan segelas air putih dimeja sebelah ku berbaring.


Ku duga bahwa dokter akan memeriksaku sebentar lagi. Pradugaku benar. 5 menit kemudian dokter menghampiriku. Kacamata yang tebal, dan jenggot mengesankan watak keras pada dirinya. Namun ternyata tidak. Bahkan sebaliknya, ia sangat santun sekali dalam berbicara dan bertingkah. Aku sudah diperbolehkan pulang, jika memang aku sudah kuat dan merasa tidak memerlukan bantuan tabung oksigen itu. Sejam kemudian, aku beranjak meninggalkan ruangan yang penuh dengan aroma obat-obatan. Dengan diantar pak Isyaq yang sedari tadi sudah di telfon Risna untuk membantuku pulang ke rumah nanti.


Sesampai dirumah, Ibu dan Bapak sudah panik menungguku. Ternyata mereka sudah tahu bahwa tadi aku pingsan dan sempat dilarikan kerumah sakit. Mereka ingin sekali menengokku kesana, namun mobil growong yang biasa dibawa bapak masih dipinjam sebentar oleh bang Alen untuk mengambil bawang ke desa seberang.


“ Gimana nduk, sudah merasa mendingan belum. Tidur di kamar Ibu aja, nanti Ibu pijitin. Kamarmu masih dibersihkan sama mas-mu”, pekik Ibuku dengan penuh kekhawatiran (sambil membopongku ke kamarnya).


“ Terima kasih banyak ya pak, sudah mau mengantarkan Dina sampai rumah. Maaf sekali jika keadaan rumah kami seperti ini. Haha…maklum, rakyat kecil”, kata Bapak.


“ Jangan merendah seperti itu pak. Biar miskin harta yang penting kaya hati. Saya merasakan kesederhanaan dan kekayaan di keluarga ini. Keluarga yang sejahtera. Pak, apa Dina sudah sering sakit seperti ini?”, Tanya pak Isyaq.


“ Iya, sudah 4 tahun ini dia mengidap asma. Namun akhir-akhir ini parah. Sering keluar masuk rumah sakit. Untung saja keluarga kami mendapat surat tanda miskin. Jadi biaya rumah sakit sudah ditanggung sama pemerintah. Dokter-dokter di rumah sakit itu sudah mengenal Dina. Ya, karena Dina sering kesana. Haha, ngamar disana. Obat-obatan sudah menjadi makanannya. Sekali ia telat minum obat, dia akan merasakan sesak yang luar biasa”, jelas Bapak lengkap seperti apa yang sudah di paparkan dokter Adi 4 bulan yang lalu.


“ Bapak yang sabar ya, sesungguhnya Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Saya yakin, keluarga bapak adalah orang yang kaya dan kuat. Di balik ini ada hikmahnya pak. Sudah ketentuan dari Gusti Allah apa yang telah menimpa keluarga sakinah Bapak. Pak, saya mohon pamit dulu, takut jika nanti anak-anak bingung mencari saya, karena saat ini ada ujian Hadist. Saya permisi dulu, pak, salam untuk Dina dan Ibu, assalamu’alaikum”, tukas pak Isyaq, yang aku pun juga bisa mendengar kata-katanya dengan jelas.


Hari berganti hari, hingga berganti bulan. Masih seperti kebiasaanku untuk konsumsi obat secara rutin. Dini hari ini ada yang mengganjal dalam benakku. Saat seperti biasanya aku terbangun dari tidur dan mimpi indahku, aku mengambil air wudlu yang sedikit sekali kupercikan karena hawa pun rasanya juga berbeda dengan malam-malam kemarin, sedikit agak menusuk ruas-ruas tulang badanku. Takut jika seandainya nanti asma datang melanda tubuh yang semakin mungil ini. Sesaat setelah ku hadapkan jiwaku pada yang telah menciptakanku, kulantukan syair-syair indah dari Al-qur’an. Tak terasa pipiku telah basah oleh air mata. Air mata yang menggenang di bawah mataku sepertinya berhasil membuat jejak. Jejak bengkak yang bisa membuatku kelihatan seperti empunya mata sipit.


Detik-detik berlalu, aku memilih tidak masuk sekolah hari ini. Karena aku ingin dirumah saja hari ini. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku mengangkat barang-barang untuk dibawa ke pasar. Namun hanya sebentar saja aku membantu bapak. Karena rasa sesak sudah dahulu menghampiriku. Aku memilih untuk istirahat sejenak di ruang depan tv. Aku tertidur. Bahkan pulas. Aku bermimpi, aku berada di tempat seperti di desa. Penuh dengan bunga-bunnga bermekaran yang indah sekali. Aku melihat banyak sekali kupu-kupu berwarna-warni. Namun disitu, kebingungan datang padaku,” Mengapa disini sepi?”. Aku merasa sangat bahagia sekali di tempat yang ku sebut desa ini. Sangat luas. Maha luas.


“Din, bangun ! ayo sholat dhuhur. Ada teman-temanmu disini”, ujar mas Didin.


Aku terperanjat dari tidurku. Ku lihat di sekelilingku sudah banyak teman madrasahku. Aku bingung mengapa mereka ada di rumahku? Dan siapa yang membawa mereka kesini? Apa tujuannya? Ternyata aku sudah dua hari tertidur. Rasanya masih sejam yang lalu. Namun saat ku buka mata, yang kurasakan masih sama, hawa dingin yang menusuk tulang, dan awan biru tersenyum padaku.


“ Lho…..kalian disini? Kok tidak sekolah?”, tanyaku.


“ Din, kami jenguk kamu. Kata Risna kamu sakit lagi. Sudah dua hari tiada kabarmu. Entah angin mana yang membawa hati kami untuk menjengukmu”, ujar Tofik mewakili teman-teman lain. Kurang lebih ada 40an temanku yang menjengukku. Ada yang mengganjal di benakku. Rasanya, sakit yang selama ini mengurungku, kini seperti tak kurasakan lagi. Hilang, lepas dan bebas.


“ Din, ini pialamu”, tukas Tofik.


“ Piala apa?”, tanyaku bingung.


“Piala kejuaraan. Kamu memenangkan lomba debat Bahasa Arab mengenai ringkasan surat al-Fajr, dan ini pialanya. Masa kamu sudah lupa? Perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, kawanku. Aku bangga berteman denganmu. Aku dan teman-teman berharap kamu bangkit dari sakitmu. Kamu pasti bisa sembuh Din. Kita semua sayang kamu, Din. Dan tak pernah terlintas di benak jika harus kehilanganmu”, jawab Tofik.


“ Ahhahahaha…… kamu bicara apa sih, aku kan gak pergi kemana-mana. Jadi tidak mungkin aku hilang.. kan aku sekarang disini. Terima kasih ya, kalian sungguh baik sekali padaku. Aku, belum bisa membalas kebaikan kalian. Biar Allah saja nanti yang membalasnya. Oya, bagaimanana keadaan pak Jarot? Beliau masih di rawat di rumah sakit?”, aku angkat bicara.


“ Alhamdulilah, beliau sudah sembuh. Sungguh luar biasa perjuangannya untuk sembuh. Ikhtiar dan do’anya tiada henti. Maka Allah mengabulkan segala do’anya untuk bisa segera sembuh dari penyakit batu ginjal itu. Sekarang, banyak murid-murid yang suka padanya”, ujar Tofik.


“ Kok bisa, bukankah beliau terkenal galak?”, tanyaku penuh dengan penasaran.


“ Jenggotnya sudah dikupas habis”, jawab Tofik


“ Hahahahahhahahah”, tawa teman-teman menggelegar dirumahku.


Sesaat kemudian, di tengah gelagak tawa mereka entah apa yang menyuruhku melantunkan sebuah lagu :


Bukankah hati kita telah lama menyatu


Dalam tali kisah persahabatan Illahi


Genggam erat tangan kita terakhir kalinya


Hapus air mata meski kita kan terpisah


Selamat jalan teman


Tetaplah berjuang semoga kita bertemu kembali


Kenang masa indah kita seindah hari ini


Sesaat kudengar lantunan ayat :


$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷Š$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷Š$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ


27. Hai jiwa yang tenang.


28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.


29. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,


30. Masuklah ke dalam syurga-Ku


Sejuk, tenang, damai, dan……………… gelap.












my pet


www.spacezapper.com