.

Glitter Text
Make your own Glitter Graphics

selamat datang.........

semoga Allah selalu memudahakn jalan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh

mungkin ini adalah saya

Foto saya
asalamu'alaikum wr.wb, dalam naungan Ridho Illahi semoga hidup penuh kedamaian walau didahului oleh permusuhan.. salam ukhuwah islamiyah

kisah 2 orang pelukis

Semilir angin menyentuh kalbu. Kicauan burung membangunkanku dari tidur nyenyakku. “Parno, bangun! Sudah jam tujuh. Nanti kita kehabisan stok alat lukis lho. Ayo, cepetan bangun!”, ucap Widodo padaku sambil menyibak selimut di tubuhku. Ku singkap lagi selimut penghangatku. “Parno, cepetan! Aku tunggu di depan”, katanya lagi sambil melangkah pergi dari kamarku. Aku mendengar sekali deretan keras pintu kamarku yang kembali tertutup. Ku lihat kalender di atas meja. Ya, tanggal 26 September. Aku baru teringat bahwa hari ini memang ada bazar besar-besaran alat lukis. Langsung ku sibak selimutku kembali. Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi, buru-buru membersihkan badanku. Tak terasa sudah sepuluh menit lebih Widodo menungguku. “No, buruan! Keburu angkot pada ke kota”, teriak Widodo dari teras depan rumah. “Iya bawel. Masih cari celana”, jawabku kesal. “Makanya, sesudah pakai celana itu langsung digantung, jangan dibuat benang gak karuan”, katanya dengan nada ketus. Ku pakai celana ala kadarnya, walau tak matching dengan baju yang ku kenakan. Ku gebrakkan pintu kamarku, meluncur ke teras depan. “Ayo berangkat. Mana angkotnya?”, kataku sambil merapikan baju. “Wah...wah...wah den bagus celananya rapi sekali? Jarang lho, ada orang yang berpakaian seperti ini?”, ejek Widodo padaku. “Masa bodoh dengan pakaian. Aku ya aku. Mereka ya mereka. Udah, ayo kita berangkat ke bazar”, kataku membalas. “Mau naik apa? Bazar itu di kota. Ini desa. Jauh sekali jaraknya kalau kita mau ke kota. Hanya gara-gara celana bututmu ini, kita gagal mendapatkan alat lukis yang dari dulu menjadi cita-cita kita. Semuanya percuma”, ujar Widodo lemas. Ku sandarkan pundakku ke tembok dekatnya terduduk letih, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi. “Tapi kalau kita tidak mendapatkan segera alat lukis itu, kita akan dimarahi Pak Rahmat. Kita bisa saja dibunuh dengan pistolnya atau mungkin dengan belatinya. Lusa sudah harus jadi kan pesanannya? 50 lukisan itu bukan jumlah yang sedikit. Kita juga bisa meraup keuntungan yang banyak. Kamu gak tergiur?”, kataku merayunya. “Apa? 50? Kau bilang hanya 20 lukisan, sekarang kok jadi 50? Gombal kau”, katanya. “Terserah kau mau percaya padaku atau tidak. Yang penting aku akan ke kota sekarang. Bazarnya keburu tutup”, kataku sambil melangkah pergi meninggalkannya. “Tunggu, aku ikut”, katanya menyusulku.


Aku dan Widodo menumpang truk yang membawa ketela jurusan ke kota. Untung saja sopirnya masih sekampung denganku, jadi tak dipungkiri jika ia mau mengantarkanku hingga sampai di bazar. Perjalanan ke kota bisa sampai 3 jam. Ku lihat Widodo tertidur pulas di samping Pak Karno si sopir. Tak ku sangka ternyata rasa kantuk juga menghampiriku. Entah sudah berapa lama aku dan Widodo tertidur dalam perjalanan. Pak Karno membangunkanku,”Parno, Widodo, bangun. Sudah sampai di kota”. Ku buka mataku sambil masih menahan rasa kantuk yang teramat sangat. “Terima kasih ya pak, atas tumpangannya. Widodo, ayo bangun. Sudah sampai”, ucapku.


Sesampainya di kota, aku dan Widodo bingung, arah mana yang menuju ke bazar. Daerah ini sangat ramai dan luas. Ku susuri jalan sambil bertanya-tanya pada orang-orang. Setelah sejam lebih berputar-putar ria mencari bazar, baru ditemukan. Ternyata bazar hanya berada di belakang arahku, saat aku dan Widodo turun dari truk tadi. “Bodoh sekali kau, bazar Cuma disitu, dari tadi muter-muter menghabiskan tenaga”, Ucap Widodo kesal sambil menunjuk ke arah bazar. “Kau ini kenapa kalau semenit saja tidak marah-marah. Ku tinggalkan kau disini, mau?”, jawabku ketus. “Iya, iya. Aku gak akan ngomel lagi deh”, katanya mengalah.


Tempat bazar ini luas sekali. Banyak alat-alat lukis yang belum pernah ku jumpai sebelumnya. Menakjubkan. Aku dan Widodo hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keindahan alat-alat lukis. Ku putuskan membeli 100 set alat lukis. Walau kehabisan modal, namun aku tak kehabisan akal. Ku pinjam modal si Widodo. Dengan polosnya dia memberikannya padaku.”Hahahahahah...”, aku tertawa geli sendiri melihat keluguan Widodo. Setelah ku dapatkan itu semua, aku dan Widodo segera meluncur pulang ke desa. Toh, jam juga sudah menunjukan pukul 5 sore. Aku dan dia mulai bingung, harus pulang dengan tumpangan apa. Tak mungkin sekali jika naik bus. Uang di sakuku sudah terkupas tuntas. Sedangkan Widodo, sakunya hanya tersisa seribu perak.


“Bagaimana kalau lukisan ini kita kerjakan disini?”, ide konyol si Widodo.


“Apa yang kau maksud? Kita akan tinggal di kota ini?”, Ucapku penuh tanya.


“Mungkin begitu”, jawabnya lagi dengan enteng.


“Sudah gila kau ini. Kota itu keras. Tak mungkin kita akan betah hidup di kota ini, hanya dengan bermodal jualan lukisan? Lalu bagaimana dengan Pak Rahmat?”, ujarku.


“Ya kita tinggal bilang saja ke dia, kalau pesanannya ada di kota ini. Tidak lagi di desa. Mudah kan?”, jawabnya lebih meremehkan dari sebelumnya.


“Mudah gundulmu itu! Tak semudah yang kau bayangkan. Di kota ini, kita tidak akan makan apa-apa. Lukisan seperti ini tidak laku jika kita jual di kota. Ini lukisan biasa”, bentakku.


“Kalau kau tak mau, besok kita cari pabrik tempat Pak Karno. Kita akan menumpang lagi truk nya. Dan kita bisa menyicil proyek lukisan ini”, ujar Widodo serius.


Malam ini aku dan Widodo istirahat di kolong jembatan. Mungkin malam ini mata tak akan terpejam. Karena hanya waktu seminggu, aku dan Widodo harus menyelesaikan pekerjaan ini. Lumayan, sudah 21 lukisan yang sudah terselesaikan hingga pagi hari.


Pagi buta, ku benahi alat-alat lukis ini. Sedang Widodo tertidur dengan beralaskan tanah. Ku bangunkan dia dengan segera. Aku dan dia mulai menyusuri pabrik demi pabrik. Akhirnya ku temukan truk Pak Karno terparkir di salah satu pabrik ketela. Ternya Pak Karno ada di dalam truk nya. Segera ku membangunkannya. “Pak Karno, bangun”, kataku. “Ada apa lagi bos?”, katanya ngelantur. “Pak, ini aku, Parno. Numpang lagi ya Pak”, kataku sedikit tersenyum. “Kemana lagi?”, tanyanya. “Balik ke desa. Uangnya sudah terkuras habis buat beli alat-alat lukis. Boleh kan Pak?”, rayuku. “Ya sudah. Buruan naik. Mana Widodo?”, jawab Pak Karno yang baik hati. Ku cari Widodo hingga pusing. Ternyata dia sudah tergeletak di kursi samping Pak Karno. Tertidur sangat pulas, bahkan lebih pulas dari sebelumnya. “Huh... dasar borem”, kataku sambil naik ke truk lalu duduk di dekatnya. “Borem itu siapa to No?”, tanya Pak Karno sambil menyalakan mesin truk nya. “Borem itu tibo merem Pak. Sekali duduk pasti langsung tidur. Ya kayak Widodo ini. Sudah pak, berangkat saja. Tapi hati-hati ya Pak. Jalanan masih gelap”, kataku menjelaskan. “Iya, iya”, jawab Pak Karno. Perjalanan ke desa dimulai.


Tak lama dalam perjalanan, kurasakan goncangan yang sangat kuat. Truk yang ku tumpangi ternyata jatuh ke jurang. Ku lihat tubuhku melayang. “Ya Tuhan, selamatkan kami”, teriakku. “Bruk...bruk...bruk”, suara truk yang ku tumpangi jatuh membentur dinding curam jurang. Jatuh, tergeletak, dan terbakar. Widodo yang belum sadarkan diri dari tidurnya hampir ikut terbakar. Segera ku tarik tanganya menjauh dari truk. Entah bagaimana dengan Pak Karno. Aku sudah sangat panik sekali. “Truk nya kenapa bisa terbakar?”, tanya Widodo saat ku tarik tangannya lari menjauh. “Nanti saja aku jelaskan”, jawabku. Aku jatuh terkulai lemas.


Suasana ini masih terlalu pagi. Namun sudah banyak orang yang lalu lalang. Mungkin ada yang segera melaporkan ke polisi tentang kecelakaan ini. Secepat mungkin ada yang mengevakusiku, Widodo, dan Pak Karno. Saat aku tersadar, ku lihat bujur kaku tubuh Pak Karno yang terbakar hangus. Widodo hanya kakinya yang lecet karena tersandung batu besar dan sedikit lecet di bagian punggungnya terkena bara api. Sedang aku? Tubuh penuh luka memar. Tak apa, yang penting masih selamat. Aku dan Widodo dimintai keterangan di kantor polisi. Ku anggap kecelakaan ini dikarenakan Pak Karno masih dalam keadaan sangat lelah dan mengantuk sekali. Aku dan Widodo di antar ke desa oleh anggota kepolisian. Dan mayat Pak Karno akan segera di makamkan pula di desa.


Sesampainya di desa, aku dan Widodo sangat berterima kasih sekali pada pihak kepolisian yang telah memulangkan ke desa lagi. “Widodo, lukisannya?”, ucapku dengan sangat berdebar sekali. “Ya ampun No. Kita sampai lupa dengan pekerjaan kita. Tinggal hari ini. Besok dia sudah kesini. Bisa mati kita nanti di tangannya. Begini saja, kita kumpulkan lukisan kita yang dulu. Kita bersihkan, lalu besok kita serahkan ke dia. Gimana?”, ucap Widodo. “Kau itu sudah gendeng ya. Dia pasti tahu kalau lukisan yang kau rencanakan itu sudah dari zaman dulu”, jawabku. “Apa salahnya kita mencoba? Toh, jika kita mau beli alat lukis baru, mau nyolong uang darimana? Ngepet? Gak kan? Kita itu bukan orang kaya. Kita akan jadi orang kaya kalau kita sudah berusaha dengan cucuran keringat. Tak semudah para seniman kaya, yang alat-alat lukisnya terkadang dari luar negri. Kita bisa seperti mereka, tapi dengan usaha kita sendiri, ‘kita ya kita, mereka ya mereka’ , mengerti kan maksudku?”, jawab Widodo panjang lebar. “Baiklah. Aku yakin dengan adanya kecelakaan ini, Tuhan semakin membuka rahmatnya untuk kita. Sudah jangan buang-buang waktu lagi. Kita cari lukisan kita yang dulu”, kataku.


Di gudang, di kamar, di bawah tangga, sudah ku temukan lengkap lukisan ku dengan Widodo semasa dahulu. Ku kumpulkan hasilku dengan hasil penemuan Widodo. 60 lukisan. Tersisa 10 lukisan untuk tertinggal di rumah. Yang 50 akan berhijrah ke tangan lain.


Keesokan harinya, Pak Rahmat datang ke rumahku, mengambil lukisan pesanannya. Saat Widodo menyerahkannya, Pak Rahmat dengan seksama meneliti setiap sudut dari lukisan itu. Barangkali masih ada yang cacat. Aku dan Widodo sudah sangat panik sekali melihat raut wajahnya. Menyeramkan. Merah padam. Sepertinya aku ingin segera lari. Namun pasti akan terkejar walau di dasar lautan sekalipun. Lega, dia pergi dengan lukisan-lukisan itu.


Namun keesokan harinya dia ke rumahku lagi. Sepertinya ia menjadi bahaya bagiku dan Widodo. Tiba-tiba dia menyuruhku masuk ke dalam mobilnya untuk mengambilkan uang bayaran lukisan. Aku merasa ada yang ganjal. Aku disingkap. Tak sadarkan diri lagi. Entah bagaimana dengan Widodo, apakah ia akan menolongku atau membiarkanku. Saat ku buka mata, aku sudah berada di ruang sempit, sesak, gelap dan sepi. Hanya ada satu lampu teplok yang menempel di dinding di atas kepalaku. Kakiku di pasung. Tanganku diikat dan mulutku diganjal dengan kain. Ku coba gerak-gerakkan tanganku, berharap tali yang mengikatku terlepas. “Krek....”, pintu terbuka. Ada sedikit cahaya menerangiku. Orang bertubuh besar itu menghampiriku,”Kau tahu mengapa kau berada disini?”, tanyanya dengan nada sangat keras padaku. “Kau suruhan Pak Rahmat kan? Bilang kepadanya, lukisan-lukisan itu segera di bayar. Aku sangat bersusah payah sekali mengerjakannya dalam dua hari ini”, jawabku.


Tiba-tiba Pak Rahmat mendatangiku,


”Bodoh kau! Aku minta lukisan yang bagus dan edisi baru. Mengapa kau berikan padaku lukisan kusam dan pula sudah usang? Kau tahu, aku di pecat oleh bos ku. Bagaimana mungkin aku membayar lukisan bodohmu ini. Dan kau juga tahu? Aset kekayaanku di kupas habis oleh bos ku. Dan itu semua karena ulah bodohmu! Kau harus bayar semuanya, dengan nyawamu!”


“Apa? Nyawa? Kau mau membunuhku?”, kataku sambil histeris ketakutan.


Darah mengucur dari tanganku. Aku sudah kehilangannya, tangan kananku. Dia tega memotong separoh tangan kananku agar aku tak bisa lagi melukis, yang menjadi cita-citaku dari kecil. Tak juga itu, kepalaku hampir dibakarnya dengan lampu teplok. Sungguh dia manusia biadab. Namun, aku mencium bau Widodo. Dan baunya semakin mendekat. Aku sekarang bisa tahu keberadaannya. Dia di belakang si tubuh besar bodyguard Pak Rahmat itu. Widodo memukul kepala si tubuh besar itu dengan botol wisky. Berdarah sudah kepalanya. Dia terkulai lemas di lantai. Pak Rahmat yang mengetahui hal itu, segera menoleh ke belakang. Diambilnya lagi botol wiski dan sedikit melangkah mundur untuk bersiap-siap menjatuhkannya ke lantai. Widodo memancing agar Pak Rahmat tak menghiraukan keberadaanku lagi. Aku tahu Widodo sangat ketakutan sekali karena Pak Rahmat masih menggenggam belati yang masih berlumuran darah. Mundur dan mundur lagi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepas pasungan di kakiku dengan kunci yang sudah dilemparkan Widodo sedari tadi. Walau hanya dengan tangan kiri, aku bisa membuka pasungan itu. Dengan tergopoh-gopoh, ku ambil pistol di saku si tubuh besar. Ku luncurkan peluru ke arah punggungnya. Jatuh dan mati. Si biadab sudah mati. Aku terduduk lemas di lantai, melihat keadaanku sendiri yang seperti ini. Widodo menghampiriku, lalu memelukku,”Parno, kau memang sahabat terbaik untukku selamanya. Ayo kita kembali ke rumah, mengobati luka-lukamu ini”, bisik Widodo. Dapat ku rasakan desah nafas kasih sayang darinya. Aku tertatih dalam perjalanan.


Sesampainya di rumah, Widodo langsung mengobati luka-lukaku. Tak mungkin ke dokter. Karena sangat jauh sekali. Hanya ada obat penawar sakit saja. “Ya Tuhan, ampuni aku. Aku telah membunuh ciptaanmu”, bisikku dalam hati.


“Kamu yang sabar ya, aku akan selalu disini menjaga dan menemanimu melukis lagi”, kata Widodo halus.


“Melukis? Aku sudah tak punya tangan. Aku tak akan bisa lagi menjadi seorang pelukis”, desahku.


“Kan kau masih punya tangan yang kiri? Belum tentu yang kiri lebih jelek dari yang kanan. Kan kau masih punya aku? Kau masih punya semangat, kawan. Jangan menyerah untuk meraih cita-citamu kawan. Dan jangan salahkan takdir. Karena takdir tak kan pernah salah”, kata Widodo.


“Benar apa yang kau katakan. Tak seharusnya aku mencair seperti ini. Aku harus menguap. Aku akan meraih cita-citaku menjadi seorang seniman lukis. Dan kau Widodo, kau juga akan menjadi seorang pelukis handal di negeri ini, atau bahkan sampai di negeri orang. Kita seniman terhebat”, kataku sambil berderai air mata kebahagiaan. Ku peluk Widodo erat-erat. Tak ingin ku jauh dari sahabatku ini.


5 tahun kemudian, aku berdiri di tepi pantai nan anggun,”Tuhan, Kau telah memberi ku segalanya”


Seniman terhandal di Asia Tenggara ; Parno Rugji


Dan widodo berdiri di sampingku,”Tuhan, Kau telah mengabulkan do’a ku”


Seniman terunik di seluruh dunia ; Widodo Joyokusumo

my pet


www.spacezapper.com