Aku adalah seorang mahasiswa di sebuah
universitas yang cukup ternama di pulau Jawa.
Kini usiaku menginjak 20 tahun. Aku anak Tasikmalaya yang merantau ke
pualu Jawa bagian timur. Aku adalah salah satunya mahasiswa yang terbalut cinta. Aku menaruh
hati pada seseorang yang mungkin cukup terkenal di kampusku. Begitulah ku
memanggil tempat untuk ku menuntut dan menggali ilmu saat ini. Dia adalah
Mahfudzin. Nama yang cukup mudah untuk diingat dan dikenal orang lain. Tentunya juga aku. Dia memang tak
tampan dibanding teman-teman yang lain. Tapi dia mampu mencuri hatiku yang saat
itu bisa dibilang gundah gulana. Perlu
ku mengingat lagi, bukan baru saja aku menaruh hati padanya. Namun sejak dari
kelas 1 Madrasah di pesantren aku telah memiliki rasa untuknya. Bukan dari
bertemu, namun dari mimpi saat aku hendak pergi ke pesantren. Kira-kira kurang
lebih 7 tahun yang lalu.
Pagi
yang berselimutkan embun saat itu ku sempatkan diri tuk menengok ke meja dimana
ia biasanya tempati itu. Aku berkata dalam hati, “Aina huwa, ?kok tidak seperti
biasanya dia belum terlihat?”, begitulah ucapku dalam hati. Sejenak ku
berfikir, dalam lamunanku, ku dibangunkan Jihan temanku. Teman yang selalu ada
untukku saat suka dan dukaku. Namun ku belum bisa membalas banyak semua
kebaikannya. Huuh….biar Allah saja nanti yang membalas semua kebaikannya,
dengan surga haqiqi-Nya. “Hayoo…mikirin Mahpud ya?”. Ya, memang begitulah nama
akrab Mahfudzin biasanya di panggil oleh teman-teman sekampus. Memang, apa-apa
yang sedang kurasakan kuceritakan pada sahabat baikku itu. Ku akui aku menaruh
hati pada sesosok Mahpud. Tak ubahnya teman-teman yang lain yang juga memiliki
perasaan yang sama walau hanya sekedar nge-fans.
Ketika
ku berada dalam kepenatan di ruangan, aku memutuskan untuk sekedar refresh
sejenak otakku diluar ruangan. Aku langkahkan kakiku untuk pergi ke kantin sekolah yang letaknya tak jauh
dari ruanganku, yang memiliki penjaga sejumlah 6 orang. Tak kusangka ku dapati
ia, Mahpud yang kucari-cari berada di
ruang UKS yang ukuranya kurang lebih 4x4 meter itu terbaring sakit tak berdaya.
Kulirik wajahnya pucat pasi. Dia berselimut angin. Ku ingin mendekatinya.
Namun….itu bukan yang diajarkan padaku. Aku hanya boleh mencintainya, bukan
menyentuhnya kecuali, ia adalah suamiku. Ku kembali saja di ruanganku dengan
perasaan bingung penuh pertanyaan yang bertubi-tubi.
Lonceng
berdering. Tanda seluruh materi yang diajarkan para dosen kepada para mahasiswa
telah usai. Aku dan temanku Jihan bergegas keluar dari ruangan untuk
menengoknya lagi. Namun tak kudapati dia di ruangan itu. “Ya ukhti, kok gak
ada? Yakin, tadi ana melihatnya disini”, tanyaku pada Jihan. Jihan sendiri
menggeleng kepala tanda tidak tahu-menahu soal ketidak adaan Mahpud. Ku coba
untuk tenangkan hati dan fikiranku bahwa dia akan baik-baik saja. Ku hilangkan
semua rasa gundahku, sesaat aku berdiri di depan daun pintu UKS itu.
Tiba-tiba
salah satu temannya lewat. Walau awalnya
ku tak pernah berani bercakap-cakap dengan seorang pria, namun kali ini ku
beranikan diri untuk bertanya akan keberadaan Mahpud. “Assalamualaikum Jery, ana
ingin bertanya, kira-kira antum tahu tidak keberadaan teman antum yang sedari
tadi pagi terbaring di UKS ini?”, tanyaku perlahan, karena takut salah dan
kasar ataupun menyinggung hatinya dalam pengucapanku. Ya, memang inilah aku.
Zahra yang yang mungkin bisa dibilang
kuper atau apalah yang sejenisnya.
“ Wa’alaikumsalam…o…. Mahpud to?! La yo, aku dari
tadi juga nyari-nyari deweke, tapi yo gak ketemu-ketemu, aku yo bingung”, ucap
Jery dengan logat yang penuh Jawanya itu. Jery adalah keturunan orang Jawa dan
Sunda. Maka tak salah lagi jika cara dia berbicara pun logat itu masih tertanam
tegar di lisannya. “Lo…kok you malah gak tahu sih… bukannya you best
friendnya?”, tegur Jihan dengan cara dia berbicara agak kebarat-baratan
itu. Karena Jihan pernah ingin
berkunjung ke Negara Amerika. Namun sampai sekarang belum kesampaian juga.
Hahahahahah ,maklum,,.
Ketika
semua terdiam, salah satu teman yang memiliki julukan ”Bintang Kampus” universitas
berteriak, ”Ada yang mau bunuh diri!”. Dengan sangat respon, aku, Jihan dan
Jery lari mendekati sumber suara. Banyak
mahasiswa yang sudah berjubelan di halaman belakang ruang para dosen yang
biasanya digunakan untuk latihan basket. Yang letaknya dari ruang UKS kurang
lebih 100 meter. Di sebelah halaman terdapat sebuah tiang tower yang cukup
tinggi, yang ujungnya berwarna merah keputih-putihan. Semua mata memandang ke
arah puncak tower. Dengan penuh keheranan aku, Jihan dan Jery memfokuskan
pandangan ke puncak tower. Aku yang memang dari kecil memakai kacamata, ya…cukup
jelas untuk bisa melihat kearah yang agak jauh. Ternyata….ternyata Mahpudlah
yang berada di atas tower itu. Mahpud alias Mahfudzin yang ku nantikan
kehadirannya di hatiku. Memang tak salah lagi bahwa itu adalah Mahpud. Aku
kembali di bayang-bayangi pertanyaan
yang membuatku sedih dan bingung kembali. “Ya Allah.. apa yang membuat dia
melakukan hal sekeji ini pada dirinya sendiri? Mengapa ia menyakiti dirinya
sendiri?”.
Aku
langsung mengambil microphone di ruang dosen. Lalu ku lantunkan sebuah syair
puisi untuknya, berharap agar dia turun dari tower mengerikan itu di dalam
kerumunan banyak mahasiswa. Walaupun dengan rasa gemetar dan tak tenang serta
rasa malu pada teman- teman, aku mencoba optimis bahwa aku bisa meyakinkanya
bahwa apa yang dilakukanya itu tidaklah benar. Ku ambil diary kecilku yang
selalu menemaniku yang ku letakkan di dalam tas. Lalu ku bacakan untuknya puisi
yang memang dulu inigin ku sampaikan padanya, saat 12 hari setelah aku masuk ke
pesantren.
Jangan menghilangkan aku
dari senyum lembutku
Karena aku sudah berdebat
dengan cuaca untuk hidup dan mati
Surga yang bergetar ketika
aku melihat wajah yang
Dan membuat aku optimis bahwa akan datang hari
Penuh tawa dan kemudian penderitaanku
akan menghilang
Jadi jangan ambil dariku
senyum lembut
Aku berjanji padamu bahwa
aku tak akan mengganggumu
Tapi membuatku memilih
untuk hidup daripada mati
Dan biarkan aku berharap
senyum khusus
Untuk mengangkatku saat
aku merasa tertekan
Saat aku sakit jiwa adalah
melarikan diri
Kesedihan dan kesepian itu
jadi saksi
Tuhan…aku berdo’a, dan
Kebahagiaan pasti datang
mengunjungiku suatu hari
Dan permohonan dalam nama
Tuhan
Tidak mengambil senyum
lembut dariku
Suram….tempat kumelihat
Penuh kegelapan…
Kemudian
sesaat, aku tak sadarkan diri. Aku tak
tahu apa yang menimpa diriku. Ketika ku membuka 2 katup mataku yang kulihat
adalah seorang pria yang terbaring di sampingku. Lalu ku berkata, ”Astaghfirullahal
‘adzim, ma ta’mal huna?( apa yang kamu lakukan disini?)”, tanyaku pada pria
yang memiliki nama lengkap Mahfudzin Khoirul Alim yang sama-sama aku dengannya
mengambil jurusan bidang materi Keagamaan khususnya Bahasa Arab dalam
universitas ini. “La tahsyin ya ukhti”, tegurnya, yang artinya “Janganlah
khawatir”.
Sesaat,
dia menceritakan padaku tentang apa yang sudah terjadi padaku. “Saat antun
lantunkan puisi tadi, sungguh ana menangis menyesali akan apa yang telah ana
perbuat. Ana sangat bodoh sekali melakukan hal yang tak disukai Allah ini. Jiwa
ini seperti hidup kembali, setelah sekian lama runtuh bagai puing-puing gempa
di atas bumi ini. Apakah kamu ingin membantu ana? Keluar dari masalah yang
telah menghimpit?”.
Lalu dengan tenang dan halus ku mencoba
menjawabnya, ”Afwan, jika sebelumnya ana lancang melakukan hal seperti ini yang
mungkin belum terlintas di benak antum. Ana ….”, ucapku padanya walau aku masih
merasa belum kuat untuk berkata padanya.
”Kamu tak
lancang melakukan ini. Malah ana ingin berterima kasih pada antun karena telah membantu menghidupkan jiwa ana kembali, jiwa
yang dulu pernah terbenam luka . Oh ya Zahra, tidak terasa ya kita dah hampir 7
tahun memegang ilmu yang sama, bersama, namun ana tidak begitu mengenalmu. Ana
inget sekali saat pertama kita bertemu, kita seperti anak kecil saja, masih
suka olok-olokan, dan suatu hari tanpa ana sadari, kamu memberiku isyarat untuk
nama ana terpahat dihatimu. Iya kan, masih ingat pastinya. Ternyata puisi yang
kamu buat mampu merubah jalan fikiran ana yang awalnya ingin bunuh diri malah
sekarang sangat benci sekali dengan kata “Bunuh diri”. Gimana? Kamu sudah
merasa baikkan kan?”, tukas Mahpud panjang lebar. Yang biasanya pada pelajaran
Matematika, panjang dikali lebar adalah
luas segiempat .
Jihan datang membuyarkan percakapanku
dengan Mahpud. Jihan mengajakku untuk cek ke dokter tentang kesehatanku saat
ini. Untunglah…
2
hari kemudian, saat aku jalan-jalan mengelilingi kampusku, ku lihat dia
mengumbar senyum padaku. Ku balas senyumnya walau hanya secuil.
“Zahra, kata Jihan kemarin kamu menangis? Ada apa?
there’s some problems?”, tanyanya saat aku sedang melanjutkan menulis novelku
yang berjudul “ Saatnya aku kembali” ini.
“Gak kok, Cuma masalah kecil”, tukasku dengan
tegas.
Hari-hari
berlalu seperti biasanya. Dan seperti
biasanya, aku menggoreskan tinta pena warna biru ber-glitter. Dan sesaat aku
temukan imajinasiku yang pernah lenyap kini hadir lagi tanpa satu undanganpun.
Ku teringat kisah setahun yang lalu saat aku melantunkan sebuah syair untuk
yang ingin bunuh diri, Mahpud. Ku teringat akannya yang hendak bunuh diri entah
karena apa. Karena dia tak pernah mau membahas soal itu lagi. Namun aku masih
ingin mengetahuinya.
“Jer, antum masih ingat sama kisahnya Mahpud yang
setahun lalu pernah ingin bunuh diri? Antum tahu gak masalahnya apa?”, tanyaku
penuh keheranan.
“Wah, kayaknya aku tahu. Tapi lebih kayaknya, aku
gak tahu deh”, jawabnya dengan enteng.
“Gimana sih antum ini, pastinya antum tahu
donk,.ya….. mbok menowo?!”, tanyaku lagi yang sedikit-sedikit mengikuti logat Jawanya
yang medok itu.
“Apa? Mbok menowo? Dia sudah pulang balik kesini
to.? Bareng sama Pak menowo gak? Wah….ana mau dong minta tanda tangannya… pasti
seru ..”
“Heh.. antum ngomong apaan sih? Malah bercanda.. ya
udahlah ana mau pulang dulu”, gerutuku sambil melangkah pergi.
“Wokay… be carefully ya ukhti”, jawabnya dengan
mengacungkan jempolnya.
Aku
melangkah pergi meninggalkan Jery menyusuri jalan raya yang penuh polusi. Aku
memilih jalan kaki daripada naik angkutan umum. Ya hitung-hitung untuk
menghemat uang. Toh, kost ku tidak jauh dari kampus. Tak ku sangka, aku bertemu
sang pengisi ruang hatiku, Mahpud.
“Zahra…awas…”, teriaknya padaku.
Ku tengok
kearah suara yang memanggilku. Naasnya, aku tertabrak truk yang
mengangkut kayu-kayu bakar dari hutan yang katanya hendak dikirim ke Bandung. Aku terlindas roda truk,
tepatnya tangan kananku. Aku tak lagi sadarkan diri. Yang ku lihat saat itu terakhir kalinya adalah wajah Mahpud
yang setengah khawatir. Dan kekhawatirannya itu berbuah hasil. Yaitu aku
ditabrak truk muatan itu.
8
jam kemudian aku baru sadarkan diri. Kulihat sekelilingku. Jam dinding yang
berdetak menunjukan pukul 1 malam. Mahpud yang tertidur di sofa ber-alaskan tas
ranselnya, dan mengenakan jacket coklat kesukaanya. Aku pandangi dia
terus-menerus. Mencoba menangkap bayangannya dan memahatkannya di jurang hati.
Tak terasa perlahan air mataku jatuh menetes, mengucur bagai keringat. Saat
ingin ku menggerakkan tangan kananku untuk mengelap air mataku yang masih tersisa di pipi, aku
terkejut bukan kepalang, “Aghhhhh………………”, teriakku yang membuat Mahpud
terbangun dari mimpi panjangnya.
“YaAllah, kamu kenapa Zahra?”, kagetnya sambil
menghampiri dipan kasurku.
“Mahpud, tangan kanan ku kemana? Apa yang telah
terjadi? Jelaskan..! Ayo jelaskan….!”, teriakku sekali lagi.
“Tenang dulu Zahra, tanganmu…….tanganmu….”
“Iya, tanganku kemana”
“Tangan kananmu.. di… diamputasi..”, terbata – bata
ia menjawabnya.
“Apa? Di amputasi? Kenapa?”, teriakku sehingga
dokter pun datang ke kamar rawat itu. Ia menjelaskan semuanya. “Zahra, anda
harus tenang dulu. Tangan anda di amputasi karena tulang di organ tangan anda
telah hancur lemur yang jika tidak di amputasi akan mengganggu proses system
gerak anda”, tegas Dokter berkacamata itu.
“Mahpud, kenapa ini semua terjadi padaku? Kenapa? “,
berlinanglah aku dengan air mata.
“Zahra, ana tahu kamu wanita yang tegar. Ana yakin
kamu bisa menjalani hari-hari yang akan datang sebagaimana biasanya. Jangan sedih
sahabatku… ada ana disini”, hiburnya untuk meringankan beban sakitku. Karena
saat itu hanya dia yang mengetahui langsung peristiwa penginjakan roda truk
pada diriku.
“Syukron, akhi. Antum sudah membuat ana kembali
bersemangat lagi”, terima kasihku padanya.
Dia membantuku menyeka sisa air mataku yang
tertinggal di wajahku, karena aku juga tahu, bahwa tangan kiriku masih di
infuse. Sungguh Ya Rabb, sungguh lembut sentuhannya. Aku bagai bayi yang baru
saja dilahirkan yang mendapatkan kasih sayang
yang begitu besar dari sentuhan seorang ibu. Aku merasa seperti hidup
kembali, setelah beberapa menit lalu aku merasa menyerah untuk hidup. Yang
lebih dekat dengan keadaan mati.
“Anggap saja ini balas budi ana setahun lalu saat
ana juga ingin menyerah untuk hidup. Dan kamu datang membawakan kedamaian dalam
hati ana”, katanya sambil masih membantuku mengelap air mata dengan sapu tangan
merah miliknya. Kesedihan itu cepat sekali berubah dengan tawa. Dia mampu
membuatku semangat lagi. Tidak menyerah. Tidak malu walau hanya memiliki satu tangan saja. Dia
pun menyuruhku untuk memasukkan sejumlah butiran nasi agar perutku tidak kosong,
dan untuk minum obat. Aku kembali tidur setelah ia menyingkapkan selimut di
tubuhku. Allahu akbar. Aku sangat bahagia sekali. Karena di tengah-tengah
kesedihanku, ada yang menghiburku. Dia pun kembali ke mimpinya, tidur lagi. Ku
coba untuk sedikit menggerakkan tangan kiriku untuk takbir. Ku ingin lakukan
sholat jama’ magrib dan isya’ yang akan ku lanjutkan dengan solat tahajjud. “Walau
kamu dalam keadaan berbaring, janganlah lupa akan kewajibanmu untuk sholat 5
waktu. Karena sholatmulah yang pertama kali akan dihisab di Arsy-Nya kelak”,
begitulah yang kuingat cuplikan ceramah Ustad Khoir dulu saat di pesantren
sebagai nasehat utamanya untuk kami semua setelah menjadi alumni pesantren. Dan
yang ku bisa saat ini adalah sholat menggunakan isyarat mata. Karena sungguh
aku tak kuat walau hanya mengangkat tanganku. Air mata tak jenuh menetes
kembali. Bahkan kali ini mengucur deras.
Pagi
yang berselimutkan embun membangunkanku dalam tidur panjangku. Ku dapati Mahpud
tak lagi terbaring tidur di sofa, tapi di dekatku. Saat kubuka katup mataku,
dia sudah tersenyum padaku, padahal jam dinding masih menunjukan pukul 7 pagi.
“Astaghfirullah, ana telat solat subuh”, kataku pada diri sendiri.
“Bagaimana? Sudah agak mendingan?”, tanyanya
memulai pembicaraan.
“Alhamdulillah, ana rasanya sudah agak mendingan.
Antum gak siap-siap ke kampus?”, jawabku yang beserta pertanyaan.
“Gak ah, ana mau disini saja. Jagain kamu. Toh
dosennya hari ini galak. Jadi gak mood deh”.
“Kok antum gitu? Kan ana disini sudah ada perawat
yang akan jaga ana. Jadi tidak perlu khawatir. Yakinlah”.
“Nih, ayo makan dulu”, ajaknya. Dia memberiku
sesuap nasi dengan lembut sekali. Penuh perhatian terhadapku. Ku berikan saja
senyuman termanisku hanya untuk dia dan menjadi yang pertama kalinya.
Dialah
yang menemani hari-hariku karena sahabat baikku Jihan sedang ada tugas di luar
kota, dan aku pun juga jauh dari keluarga. Dia juga yang memberiku semangat
bahwa “Tak ada kata menyerah untuk seorang wanita yang tegar”.
Sampai pada suatu hari, ia mulai menyibakkan
pertanyaan. Tak pernah ku sangka selama aku beberapa hari di rumah sakit, ia
yang membawakan tasku. Dan ia telah membaca semua diaryku dari A hingga Z. Dari
awal hingga akhir. Awal ku mencintainya 7 tahun yang lalu yang melalui mimpi
hingga saat ini bahkan detik ini. Dia sendiri yang bercerita kepadaku. “ Zahra,
ana sudah tahu semuanya tentangmu. Kamu tidak perlu malu untuk mengakuinya.
Memang, dulu ana anggap itu hanya bercanda. Dan ternyata sampai saat ini pun
kamu tak lelah untuk menungguku. Zahra, maafkan ana. Ana tidak pernah mau tahu
mengerti isi hatimu dulu. Ana bahkan sering melukai hatimu dengan bercemburukan
santriwati-santriwati dulu yang lainnya. Namun itu semua sudah menjadi masa
lalu. Dan ana tak mau hidup di dalamnya lagi. Zahra, izinkan ana untuk menjadi
Imammu. Dan izinkan ana untuk setiap kali mengecup keningmu dan mengatakan
bahwa aku mencintaimu”, katanya padaku yang dengan suara desah nafas yang
menyejukkan kalbu. Tak terasa ku mengucurkan lagi air mata ini. Tak bisa ku bendung
rasa antara malu dan bahagia ini.
Menginjak
usia ke 22 tahun, aku syah dijadikannya pendamping hidup. Antara haru dan
bahagia ku ucapkan padanya, “Musuhku dahulu telah menjadi sahabatku kemarin dan
sahabatku kemarin telah menjadi kekasihku sekarang”.
“Kekasihku Zahra, ini cincin untukmu yang akan ku
sarungkan sendiri di jari manismu, dan kalung ini akan ku letakkan sendiri di
lehermu sebagai ganti gelang untuk tangan kananmu dan mengatakannya sendiri
padamu bahwa aku mencintaimu dalam sujudku pada-Nya”.
_THE END_