“Ponorogo, tunggu aku. Aku akan segera datang,” ujarku dalam hati.
Dua tas kuletakkan di dekat kursi dimana aku duduk di dalam bus yang aku tumpangi. Sudah tak sabar rasanya ingin bertemu dengan sahabatku, Melody. Perjalanan kali ini terasa sungguh menyenangkan. Walau macet menghantui beberapa kali. Terlihat seorang bapak-bapak tertidur pulas di sampingku, pemuda yang terus menghisap rokoknya sehingga membuat keadaan bus semakin pengap dan si kenek yang terlihat membolak-balikkan lembar uangnya.
“Bang, kira-kira berapa jam lagi perjalanan ke Ponorogo?”
“Kurang dua jam lagi dik.”
Si kenek yang kutanyai itu kembali menghitung uangnya. Aku terlelap dalam tidurku.
“Intan, tolong aku, aku takut disini. Intan....”
“Melody....” aku berteriak memanggil namanya.
“Adik bermimpi?” tanya penumpang di sebelahku.
“Astaghfirullahal’adzim, saya bermimpi teman saya terus-terusan,” jawabku sambil mengusap tetesan airmata di pipiku. Rinduku padanya begitu menggebu. Tak sabar ingin segera kupeluk erat tubuhnya, kembali bercerita.
Terasa sudah kesejukan Ponorogo, saat angkot yang kutumpangi melintas tak jauh dari rumah Melody. Segera kuulurkan selembar uang lima ribuan pada kenek. Terlihat balasan senyum darinya.
Kususuri jalan setapak agar cepat sampai di rumahnya. Hatiku semakin berdebar tak menentu saat jarak semakin mendekat. Bangunan rumah tua yang ada di depanku masih sama seperti tiga tahun silam. Taman yang masih asri, dan rerumputan yang selalu dipangkas dua kali dalam setahun. Namun entah saat aku menginjak rumah ini lagi, rumput begitu menjulang lebih tinggi dari biasanya. Tampak seorang perempuan duduk bersandar di kursinya sambil membaca koran. Kuhampiri dan kupeluk dia.
“Intan,” sapanya lembut.
“Tante kok menangis? Melody mana?” tanyaku. Ibu kandung Melody terlihat semakin lebih tua dan keriput. Padahal tahun lalu saat kuhampiri dia, masih terlihat segar dan bugar.
Sembab.
“Masuklah. Dia ada di kamarnya. Tasmu biar dibawa masuk Mas Ari.”
Aku menggangguk perlahan, membiarkan kaki kecil ini melangkah semakin jauh meninggalkan seorang Ibu yang menangis entah karena apa. Terlihat televisi dua pulih inchi bersandarkan tembok beralaskan almari mungil. Di sudut ruangan masih tertata apik sebuah aquarium ikan, yang biasanya aku dan Melody berebut untuk memberi makan ikan-ikan kecil.
Kubuka pintu kamar Melody perlahan-lahan. Terlihat seorang perempuan kurus dan kepalanya dibalut dengan sehelai kain terduduk di atas kursi roda. Seperti menerawang jauh di atas angan bersendikan jendela putih. Tata piano di kamarnya hanya diam tak bergerak. Dia memilih untuk mengikuti laku piano. Diam. Benarkah itu Melody, sahabatku? Atau aku salah masuk kamar? Percuma saja jika aku terus-menerus bergelut dengan perasaanku sendiri.
“Melody?” ucapku perlahan. Tak sedikitpun ada respon untukku.
“Melody?” sapaku lagi. Aku mendekat padanya. Dan semakin mendekat. Kulihat bibirnya putih, wajah pucat pasi. Terasa airmataku mengembun di kelopak. Segera kumemeluknya.
“Melody, ada apa denganmu? Kenapa kau tak kembali ke Jogja? Sudah tiga bulan ini kau tak memberi kabar padaku. Ceritakan padaku,” desahku dalam pelukan. Tangannya mulai bergerak. Terasa lembut. Kugenggam tangannya perlahan. Dingin. Terlihat disamping kursi rodanya tergeletak sebuah buku kecil.
“Melody, bukankah ini waktunya kita saling bertukar diary?”
Diraihnya buku kecil di samping kursi rodanya. Ia menyodorkannya padaku, tanpa melirik sedikitpun. Dia mengusap cairan bening di wajahnya yang terus mengucur deras bagai alir sungai. Aku memilih duduk di depannya. Menerawang jauh lagi. Aku tercengang tak percaya dengan apa yang dituliskannya, dua bulan yang lalu.
“Hari itu aku akan kembali ke Jogja, dengan keadaan perutku yang terus terasa nyeri, setelah pertemuanku yang kesekian kali dengan Taufan. Masih sama seperti yang dulu. Jaket merah membalut tubuhnya. Setelahnya aku ingin dia mengantarkanku hingga terminal. Dia menolaknya. Bukan salahnya. Tapi si sopir biadab itu!”
Tulisan itu terhenti. Terlihat bekas air di atas kertas menggambar sendu yang mengharu biru. Ya Tuhan! Apa yang telah terjadi? Kubuka halaman selanjutnya, namun masih tetap sama, yang ada hanya bekas airmata.
“Melody,” ucap seorang laki-laki dari balik pintu. Terdengar suara derek pintu ditariknya. Kulihat dia, Ya Tuhan.
“Taufan?” tanyaku tak percaya.
“Intan? Kapan datang?”
“Taufan, ceritakan padaku, apa yang sudah terjadi dengannya?”
Melody menoleh kepadaku, memutar kursi rodanya.
“Pergi kau! Tak usah kau peduli lagi padaku. Pergi!” terlihat tangisan mengucur deras menyempurnakan sakit di hatinya.
“Pergi!” namun kini suaranya melemah, tak kuasa, bahkan tertunduk lesu tak kuat.
“Melody, ada apa denganmu? Ini taufan,” yakinku padanya.
“Melody, ini aku, Taufan. Aku kesini untuk menjengukmu. Kenapa kau malah mengusirku?” Taufan memilih untuk mendekatinya, menggeggam erat tangannya.
“Kau jahat Taufan! Pergi! Jangan temui aku lagi.”
“Aku tahu aku salah. Andai saja hari itu aku tak membiarkanmu berangkat sendirian, semuanya mungkin tak akan terjadi. Kamu tak akan sakit seperti ini.”
“Pergi Taufan!” desahnya lirih, berusaha melepaskan genggaman di tangannya, namun Taufan terlalu erat menggenggamnya.
“Dengar aku dulu Melody. Aku kemari bukan untuk menyakitimu.”
Aku hanya termangu dalam hati dan perasaan yang penuh dengan kegamangan. Rupanya Taufan bisa meluluhkan hati Melody. Aku hanya bisa melihat mereka sambil membaca tulisan demi tulisan Melody.
“Jangan menangis lagi, aku ada disini,” ucap Taufan.
“Fan, kau sudah tahu semuanya?”
“Aku tahu dari Ibumu. Dia bercerita padaku saat seminggu yang lalu aku datang kesini mau menemuimu. Tiga bulan yang lalu kau bilang padaku akan datang lagi ke Ponorogo. Aku sudah menunggumu di taman hingga sore. Tapi kamu juga tak kunjung datang. Aku menelfonmu, tapi kau tak mengangkatnya.” Taufan berdiri menatap luar jendela. Hujan datang membasahi bumi. Gemericik suaranya mengundang kemeriahan hati.
“Fan,” ucap Melody pelan. Taufan menghadapnya. “Ada apa?”
“Sepertinya hujan menghapus semua lukaku.”
“Maksudmu?”
“Aku seperti tak merasakan sakit apa-apa.”
Taufan kembali menggenggam tangannya. “Benarkah?” Seulas senyum meruncing di bibirnya.
“Untuk apa aku berbohong?” Sebuah senyum kembali mendarat bibirnya.
Kembali terdiam. Namun beberapa menit kemudian Melody meraung kesakitan, meminta tolong hingga aku bingung dengan apa yang akan aku lakukan. Segera kubaringkannya di atas ranjang, namun dia tetap meraung kesakitan. Hingga dokter yang mengobatinya dan selalu mengecek kondisinya tiba, barulah mereda.
“Dokter, apa yang terjadi dengan Melody, Dok?” tanyaku.
“Usus di perutnya semakin melilit tidak karuan, dikarenakan sakit yang dideritanya sudah terlalu parah, dan ditambah lagi dengan kejadian pemerkosaan tiga bulan yang lalu,” tukas dokter.
“Pemerkosaan?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Biar saya saja yang menjelaskan, Dok. Tiga bulan yang lalu saat dia hendak kembali ke Jogja, seorang sopir bus mencoba memperkosanya ketika dia sedang di kamar mandi. Sebelum berangkat dia menyuruhku untuk menemaninya hingga dia benar-benar berangkat. Namun aku menolaknya dengan alasan karena jam keluar ke Ponorogo sudah habis dan aku harus segera kembali ke pondok, apalagi dengan keadaan perutnya yang sudah semakin nyeri. Andai saja aku menemaninya, semua tak akan seperti ini,” jelasnya yang membuatku semakin berairmata tak karuan.
Terlihat Melody mendesah perlahan, sambil memegangi perutnya yang agak membuncit. Dia meraih tanganku, “Intan, maafkan aku, tidak sempat mendengarkan ceritamu. Berjanjilah padaku, kita akan bertemu dan merajut cerita lagi di surga-Nya.”
Teriakanku membuncah ke seluruh ruangan, karena itulah yang hanya mampu aku lakukan.