Parto si pintar
Suara anjing malam yang menggonggong menyelimuti keheningan malam. Terdapat disebuah tempat yang biasanya dilewati oleh segelintir orang saja.
Muncullah 2 orang yang sedang berbincang-bincang masalah sekolahnya.
Dwi : nda, bukankah kamu punya mobil, apartement, rumah besar… yang diberi oleh orang tuamu itu………tapi kok kamu tetap saja tidak mau sekolah , kenapa?
Yunda : kamu lagi baca puisi apa ngayal? Atau jangan – jangan …
Dwi : jangan – jangan apa? Daku ini kan ngelem kamu, kok jadi sukudon gitu?
Yunda : haha…..apa? sukudon? Bahasa mana itu? Kayaknya saat aku duduk di bangku SD dulu, pak guru mengajariku su’udzon deh..
Dwi : ya…pokoknya itu deh……
Yunda : itu semua bukan punyaku Dwi,!!. Apalagi……
Tiba-tiba muncullah orang yang sedang berkejaran. Yang dikejar seperti ketakutan namun menyepelekan, dan yang mengejar ada di belakangnya dengan membawa sebilah pedang panjang. (lari)
Dwi dan Yunda bingung dan sedikit ketakutan.
Yunda : apalagi….apalagi…..(tersendat-sendat).,, itu tadi apa Wi?
Dwi : mana ku tahu,. Sudah! Biarin saja. Mungkin mereka hanya ingin menjadi seperti batman. Hey..apa maksudmu apalagi…..apalagi tadi?? Maukah kau bercerita padaku? Bukankah kau anak orang kaya?
Yunda : (sambil beranjak pergi meninggalkan Dwi yang masih penuh dengan tanda Tanya). Apa yang membedakan orang kaya dengan yang miskin? Bukankah mereka sama saja ?
Dwi : (sambil berfikir sendiri). Apa ya maksud dia? Ah…………pusing deh.
Parto kembali berlarian namun dengan senyum di wajahnya menuju keluar panggung.
Keluarlah seorang anak yang memakai baju tidur dan terlihat membawa boneka. Ia masuk, kemudian tidur lagi di sebelah Dwi yang masih dengan tanda Tanya nya. Anak itu bernama Putri. Bonekanya pun dipeluk dalam tidurnya.
Dwi : lhoh….kok tidur disini? Anak siapa ini? Pasti anak orang kaya. Pakaiannya saja bagus seperti ini. Hei……hei…..(membangunkannya) datang darimanakah dirimu? Hingga kau kini menemani dalam kebingunganku???? Ah…………masa bodoh dengan kau!
Dwi pergi meninggalkan Putri, sehingga Putri terlihat tidur sendirian.
Datanglah orang yang biasanya dipanggil Parto atau si senteng. Ia terkejut melihat Putri yang tertidur disana. Parto ingin melihat boneka yang dipeluk Putri. Namun tiba-tiba Putri terbangun dan terkejut.
Putri : siapa kamu? Dan kenapa aku ada di tempat ini?
Parto : heh….bocah kecil, aku bukan pamanmu.. dan aku dari tadi memang ada disini. Hahahahahahahhahahahahaha……………………..
Putri : ih kamu!! Sudah jelek, senteng lagi!!(dengan nada lirih)
Parto : hey bocah kecil.., aku gak jelek, lagipula aku juga tidak yang seperti yang kau bilang; senteng.
Putri : (dengan nada lirih) lhoh! Aku ngomong lirih kok malah dengar ,, dasar orang aneh. Ah… kujadikan orang macam kayak gini mainanku ,,,ah…. Hei kau… kau tahu makananya monyet?
Parto : sepertinya kamu yang lebih tahu deh…..hahahahahahahhahahahah…… kan wajahmu udah kayak monyet..hahaha……
Putri : kamukah rajanya?
Parto : dan kau ratunya.
Putri : ih… geli –geli deh bicara denganmu
Parto bingung seperti mencari sesuatu. Putri meninggalkannya sambil memanggil mamanya. Namun bonekanya ditinggalkan di dekat Parto si senteng.
Parto : wo cah ayu….cah ayu….punya hati po ndak to to!? Belum selesai geli-gelianya ditinggal pergi gitu aja. Lo lo lo….. gimana ni, woiiii(teriak) adikmu ketinggalan ni lo. (memandang boneka tsb dan mengelus bagian kepalanya) kasihan ya kamu. Biarlah Tuhan nanti yang menghukum kakakmu yang mengira aku seperti raja. Hahaha…..
(tertawanya dipotong) Datanglah Bu nyai
Bu nyai : (nyincingkan daster) hey… wong senteng! Mana suamiku?? Kamu kan yang telah menyembunyikannya? Kembalikan dia!!! Ayo,,, kembalikan!! Kalau tidak secepatnya kau kembalikan, ku terbangkan panci gosong ini. Ayo kembalikan!
Parto : mbok nyai.. aku bukan si senteng. Seperti kata teman dari saudaranya mbahnya canggahku dulu; biar senteng tapi punya benteng…..
Bu nyai : dan wajahmu kayak banteng!! Hahahahaha…. Ya kan??
Parto : dan yang di depanku wajahnya lebih remuk kayak pecahan genteng. Hahahhahahhahahhahahhhahahhahahahahahahh(tertawa lepas dan keras)
Bu nyai : gendeng kau! Awas kalau besok suamiku belum juga kau kembalikan(sambil pergi)
Parto : haahhahahahhahahhaha
Tiba-tiba suami bu nyai yang semula dikejar-kejar si pembawa pedang, datang dan menampar pipi Parto.
Pak nyai : (plak) dasar wong edan kau! Kau mau aku dibunuh sama si kumis lebat itu?
Parto : bukan begitu maksudku, wahai pemilik peci putih. Aku hanya ingin kau rasakan akibat ulah busukmu dulu.
Pak nyai : apa yang kau ucapkan itu? Berani kau mengungkit masa laluku?
Parto : tenanglah sejenak..! maukah kau memberiku kesempatan…(terpotong kata-kata pak nyai)
Pak nyai : kesempatan untuk membunuhku..?(dengan nada mengejek)
Parto : hei…berilah aku kesempatan bicara padamu.
Pak nyai : wong senteng…! Disini hanya ada aku dan kau. Jadi rasanya sama sekali tak mungkin jika kau harus bicara dengan orang lain, kecuali aku. Sadar kau??
Parto : oke oke… saya hand_up.
Pak yai : ayo, bicara! Tunggu apa lagi?
Parto : tak bisakah kau menahan sedikit kandungan hemoglobinmu biar tak sampai ke kepala? Pak Yai yang saya hormati (sambil hormat),bukankah kau dulu sebelum menjabat jadi seorang pak yai, engkau hendak menancapkan pedang ke tandon isi makananku?
Pak yai : tandon isi makananmu? Kulkas maksudmu? Atau rinjing?( kaget)
Parto : pak Yai yang saya hormati,, anda lulusan universitas ternama. Dan anda pun juga telah berpangkat tinggi sekarang. Tentunya anda sudah tahu apa yang ku maksud itu kan? Tandon isi makanan? Yang apabila tidak diisi akan terasa kosong?( dengan nada lirih dan mengejek). Huh….ternyata sama saja antara antara orang yang sekolah dengan tidak.
Pak yai : senteng! Jangan kau buatku seperti ini! Puyeng dengan apa yang kau ucapkan.
Parto : haha……….. berhasil juga, aku membuatmu berfikir.
Pak Yai : terserah kamu mau ngatain aku seperti apa! Yang penting aku sudah tak mau lagi berbisnis gila denganmu lagi!
Parto : ya sudah………….terserah anda juga..( langsung pergi )
Pak Yai pun juga pergi
Sesaat kemudian, Bu Nyai muncul
Bu nYai : pak………….pake….pake kemana to? Sudah hamper seminggu pake gak pulang-pulang ( lalu duduk sambil memelas )
Tiba –tiba Yunda datang dan mendekati Bu Nyai
Yunda : ada apa? Sepertinya sedang mencari sesuatu?
Bu Nyai : benar sekali nak,, suamiku sudah lama tak menemaniku.
Yunda : apakah kau bercerai dengannya?
Bu nyai : hilang.
Yunda : hilang ditelan bumi?
Bu nyai : (dengan nada tinggi) apa kau bilang? Dia hanya hilang ditelan malam yang gelap.
Yunda : apakah ia tak mengabarimu?
Bu nyai : kabar apa? Kabar burung? Apa kau pernah mendapatkannya juga?
Yunda : ya…mungkin saja. Karena akupun juga sama sepertimu, mencari apa yang seharusnya dicari, dan memaki apa yang seharusnya tidak dicari.
Bu nyai : siapa kau? Dan kenapa kau muncul di hadapnku? Apakah kau tahu masalahku? Hingga kau memaparkan apa yang seharusnya tak kudengar?
Yunda : di dunia ini aku hanya bak debu di tengah lautan.
Bu nyai : ya…. Mungkin aku pun juga seperti kau. Apa kau mau membantu mencari suamiku ? nak, orang senteng itu yang sudah membuatku setiap waktu banjir air mata.
Yunda : namun, Bu,bukan saya mau membela suami Bu Nyai ataupun orang yang anda anggap senteng itu. Di zaman ini sulit sekali membedakan mana yang senteng dan mana yang tidak. Sepertinya bahkan semua terlihat sama.
Bu Nyai : hey…..anak bau kencur, apa maksud kau bilang seperti itu?
Yunda : coba Bu Nyai fikir sekali lagi, belum tentu orang yang senteng itu senteng dan belum tentu orang yang waras itu waras!
Bu Nyai : kau sama saja dengan orang senteng itu! Dasar kau! Anak tak tahu diri!
Yunda : bu Nyai, usia itu bukan angka, namun usia itu hasil fikiran kita.
Bu nyai : ah……..aku muak mendengar ocehanmu. Dan tak ada bahkan sama sekali ini dengan kaitannya dengan apa yang kau bicarakan barusan.
Yunda : harusnya tidak ada. Namun hal ini perlu ada.
Bu nyai : apa kau bicara tentang keyakinan?
Yunda : mungkin dari cuplikan tema tersebut.
Bu nyai : ngelantur aku bicara denganmu.. akan kucari sendiri suamiku. Dan kau…. Berdo’alah agar kau segera mendapatkan kawan yang sepemikiran denganmu.(dengan melangkah pergi)
Yunda : itu kau, bu nyai ( bu nyai menoleh namun acuh )
Dwi muncul menghampiri Yunda ( senyum )
Dwi : sudah….. tak perlu kencang lagi kau berdebat dengannya. Percuma. Empunya mulut memble itu tak pernah mau menggubris kata-kata mu maupun lawan bicaranya. Better study?! (menawarkan)
Yunda : aku tak mau seperti orang pintar. Selalu di kekang, walau kau bilang aku punya segalanya, belum tentu akan juga menemaniku selamanya. Aku hanya ingin kebahagiaan dan kedamaian disini dan disini ( sambil menunjuk otak dan hati )
Dwi : bukankah dulu kau bilang padaku,kau ingin seperti ahmad dahlan, jernih dengan pemikirannya, ingin seperti kartini, pembangkit semangat para wanita, ingin seperti….(terpotong oleh Yunda)
Yunda : diriku sendiri.
Dwi : ada apa denganmu, sahabatku? Apa kini hatimu sudah tak mengenal untuk menuntut ilmu?
Yunda : menurutmu, sekarang aku tak lagi menuntut ilmu?, begitu? Kau salah besar Dwi.
Dwi : lalu? Apa yang membuatmu selalu nlindur ngalor-ngidul gak jelas seperti ini? O……………apa kau memikirkan celenganmu yang hilang?
Yunda : bukan hanya sekedar itu. Bahkan usaha mendapatkan celengan itupun kini menjadi sia-sia belaka.
Dwi : nah….apa ku bilang, benar kan?
Yunda : apa yang kau bilang?
Dwi : kau itu tak pernah dalam mujur satu bab saat bicara. Gak ada tujuan.
Yunda : tapi,,bukankah kau yang memulainya? Ya….aku hanya menginginkan kedamaian, disini, dan disini(menunjuk otak dan hati). Karena kedamaian itu hanya terletak antara keduanya.
Tiba – tiba Putri muncul
Dwi : sudah sadarkah kau rupanya???
Putri : iya, memang benar. Kedamaian itu ada disini dan disini ( menunjuk otak dan hati ) dan bukan disini (sambil menunjuk perut )
Dwi : apakah kau sudah tahu tentang hal itu?
Putri : tak sekedar mengetahuinya. Bahkan aku pernah menjadi korban keganasan ketidak adaan kedamaian itu.
Dwi : lalu???
Putri : ya….lalu sekarang aku seperti ini. Seperti yang kalian lihat sekarang ini.
Dwi : memang, yang sekarang ini kau seperti apa? Bukankah sama saja antara kau kemarin dan kau yang hari ini?
Putri : tidakkah kau mengenaliku?
Dwi : bukankah kau yang tidur didekatku saat itu? Saat aku dalam kebingungan dengan omongan teman cantikku satu ini (menunjuk Yunda, yunda melamun)
Putri : akhirnya kau mengenaliku juga.
Dwi : ya…. Ada yang beda.. aku mulai menyadarinya.
Putri : menurutmu?
Dwi : kalau kemarin kau datang dengan mata terpejam, sekarang kau datang di hadapanku dengan keadaan mata yang sudah membuka,. Hahahah….
Putri : siapakah gerangan( menunjuk Yunda )
Dwi menyadarkan yunda dari lamunannya. Yunda tersentak kaget.
Putri : siapakah gerangan?
Yunda : perkenalkan, aku adalah aku dan diriku.
Putri : yayaya..aku mengerti apa maksudmu.
Si kumis lebat keluar sambil mencari-cari Pak Yai dengan masih membawa pedang di tangannya. Yunda, Putri, Dwi seperti was-was. Tak berapa lama kemudian, Pak Yai keluar lalu memohon ampun pada Si kumis lebat itu.
Pak Yai : (jongkok) ampun bang, ampun.. jangan bunuh saya. Saya sungguh khilaf. Ini semua ide si senteng itu. (berdiri) heh…senteng…keluar kau! jangan bisanya Cuma ngemeng – ngemeng di belakang saja. Banci kau!
Si kumis : eh……brengsek keluar tak yek! Kalau kau gak cepat keluar, pedang ini hendak ku tancapkan ke perut temanmu yang suci ini tak yek!!.. keluar kau, tak yek!
( sedangkan putri, yunda dan dwi masih dengan perasaanya dan memilih mojok ketakutan)
Si kumis : hey…kalian kenapa diam saja tak yek. Mana si senteng itu tak yek.
Yunda : (memberanikan diri untuk berbicara) jangan kau sebut dia si senteng. Yang kau sebut itu punya nama. Dan yang pasti namanya bukan si senteng..
Si kumis : (mendekati Yunda)berani kau sama aku tak yek.
Dwi & Putri : kami….kami sungguh ,kami tak tahu. A….ampuni kami.
Si kumis : ampuni gundulmu tak yek. Pokoknya aku akan incar kalian berempat takyek, sebelum kalian bisa mambawa padaku si senteng itu tak yek. Ku bunuh kalian takyek.
Dwi, Putri & Yunda mengampun –ampun dan ketakutan mendengar ancaman si kumis.
Tiba – tiba Bu Nyai dan Si senteng masuk arena dengan kondisi si senteng diseret oleh Bu nyai.
Si kumis : kau tak yek !( ke Bu Nyai ). Heh…kau, kau bohong padaku tak yek. Sekarang nasi telah manjadi bubur tak yek! Serahkan kawanmu itu takyek! Kalau tidak, kau sendiri yang akan ku bunuh tak yek.
Tiba – tiba Parto berdiri,
Parto : hahahaha………..bunuh saja aku. Karena aku tak ingin seperti kau. Yang telah mati dalam kehidupanmu sendiri. Ayo bunuh!! Tunggu apa lagi?
Pak Yai pun datang menyerahkan diri.
Pak Yai : jangan! Jangan bunuh dia! Di tak salah.
Parto : hey….kau bertiga sama saja ( sambil menunjuk Pak Yai, Bu Nyai dan Si kumis). Sama – sama pengecut. Apa kalian tak sadar? Kalian sudah hamper bau tanah. Padahal kalian sama-sama lulusan perkuliahan, punya gelar tinggi di negeri ini bahkan pula di negeri orang. Tapi lihat! Kalian hanya menginginkan status, jabatan. Dan kau ( si kumis ) wahai si pembawa pedang panjang, tidakkah sedikitpun kau memiliki urat malu dengan kemana- mana membawa pedang ini?. Perangaimu buruk. Apa kalian semua juga tak punya sedikitpun urat malu atau bahkan urat itu telah kau putus sendiri dengan pedangmu, dilihat anak- anak kecil itu? Bagaimana mereka bisa sukses nantinya, kalau saja teladannya seperti kau, kau dan kau.
Dwi berdiri,dan mengangkat suara
Dwi : ya.. sekarang aku menemukan jawabannya. Mengapa selama ini kau tak mau sekolah seperti aku. Hahahahaha………ternyata pengalaman hidup lebih banyak namun juga tak kalah berarti.
Bu nyai : iya,, memang benar. Sesungguhnya aku pun juga ingin hidup lebih lama lagi, untuk membimbing otak dan hatiku.
Si kumis : otak dan hati? Punyakah kau keduanya? Selama ini kau hanya hidup dengan amarahmu.
Bu nyai : apa kau bilang? Amarah?(dengan nada marah)
Si kumis : nah..itu,, apa namanya jika bukan amarah tak yek. Tidak bisakah kau sedetik saja tidak mengajak amarahmu kemanapun kau pergi tak yek.
Pak yai : karena dihatinya dan difikirannya hanya ada itu, jadi sangat dan mustahil sekali jika ia tak membawanya kemana-mana.
Putri : mimpi hanya ada dalam kehidupan. Kehidupan pun akan berakhir, sebentar lagi, akhirat pun memanggil. Jadi mengapa kita harus dan masih memperdebatkan masalah seperti ini? Bukankah kita punya pedoman untuk mengatasi ini tanpa berbulet-bulet?
Pak yai : tanpa berbulet pun kita bisa mengatasinya, kan??
Yunda : mungkin benar.
Si kumis : apa yang benar,takyek??
Yunda : mencari pedoman untuk kehidupan.
Si kumis : haruskah ada jalan, takyek?
Yunda : jalan sudah ada. Hanya saja cara setiap manusia itu berbeda-beda untuk melewati jalan tersebut. Apakah tiada arti dalam ucapanku bagi kalian??
Bu nyai : mungkin sepertinya begitu. Namun perkataanmu sungguh melampui seorang professor sekalipun.
Yunda : syukur jika adanya seperti itu
Parto : memang, perlu bersyukur. Kalian menganggapku senteng. Bahkan kalian menyebutku seperti itu. Aku tak kan pernah sakit hati untuk mendengarnya. Karena aku seperti anak ini, Yunda, yang mencari – cari kedamaian hidup selama ini. Tak ingin ku sia-siakan sisa hidupku ini. Jika saat itu aku ngelantur, aku hanya membuat diriku merasa damai dengan amarah.
Muncul seorang penari beriringan music dengan menari mengitari pemain.
Dan tanpa disadari semua pemain mengikuti gerakan tari di belakangnya.
Hingga beberapa saat kemudian, semuanya pingsan tak sadarkan diri.
@@@ THE END @@@
By: enda_d@ymail.com
AKTOR :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->DWI
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->YUNDA
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->PUTRI
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->PARTO
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->BU NYAI
<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->PAK YAI
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->SI KUMIS